Api Keinginan: Ketika Hasrat Menjadi Mercusuar Kehidupan

Baca Juga

"Keinginan tanpa tindakan hanyalah mimpi. Tindakan tanpa keinginan hanyalah rutinitas. Keinginan dengan tindakan akan mengubah dunia." - Napoleon Hill (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

DUNIA ESAI - Refleksi mendalam tentang kekuatan keinginan sebagai motor penggerak kehidupan, dari Napoleon Hill hingga kebijaksanaan Nusantara.

Hashtag: #ApiKeinginan #ThinkAndGrowRich #DesireAndSuccess #KebijaksanaanNusantara

Api Keinginan

"Keinginan adalah titik awal dari semua pencapaian, bukan harapan yang lemah, bukan angan-angan yang samar, melainkan hasrat yang membakar, yang melampaui segalanya." - Napoleon Hill

Konon, di sebuah desa kecil di lereng Gunung Merapi, hiduplah seorang pandai besi tua bernama Pak Karjo. Setiap fajar, ia menyalakan tungku dengan bara yang sama—bara yang telah ia rawat selama puluhan tahun tanpa pernah padam. "Mas," katanya suatu hari kepada seorang wartawan yang kebetulan singgah, "api ini bukan sekadar alat. Ini jiwa saya. Tanpa api, besi hanya logam dingin. Dengan api, ia bisa jadi keris pusaka." Wartawan itu tercengang. Dalam kesederhanaan tutur Pak Karjo, tersimpan kebenaran yang pernah ditulis Napoleon Hill dalam magnum opus-nya Think and Grow Rich tahun 1937: desire—keinginan yang berkobar—adalah awal dari segala transformasi.

Desire. Dalam bahasa Inggris, kata ini mengandung nuansa yang lebih dalam ketimbang sekadar "keinginan" dalam bahasa Indonesia. Desire menyiratkan hasrat yang membakar, yang tidak bisa ditahan, yang mendorong seseorang melampaui batas-batas yang tampak mustahil. Hill, dalam pengamatannya terhadap ratusan tokoh sukses Amerika, menemukan pola yang mengejutkan: mereka yang mencapai puncak kejayaan bukanlah mereka yang paling pintar atau paling beruntung, melainkan mereka yang memiliki keinginan yang paling membara. Keinginan yang tidak sekadar berupa angan-angan, melainkan obsesi yang mengubah cara pandang, cara berpikir, bahkan cara bernapas.

Namun, apa sebenarnya keinginan itu? Jika kita tengok ke dalam tradisi Jawa, ada istilah karep yang lebih halus ketimbang keinginan. Karep mengandung dimensi spiritual—hasrat yang bukan hanya berasal dari ego, melainkan dari panggilan jiwa yang lebih dalam. Dalam filosofi Jawa, karep yang sejati selalu beriringan dengan sabar dan narima—kesabaran dan penerimaan. Paradoks ini menarik: bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan yang membara sekaligus bersabar dan menerima? Bukankah keduanya saling bertentangan?

Mungkin di sinilah letak kebijaksanaan yang terlewatkan dalam interpretasi modern terhadap konsep Hill. Keinginan yang dimaksud Hill bukanlah nafsu yang rakus atau ambisi yang buta. Ia adalah sacred discontent—ketidakpuasan yang sakral, yang mendorong seseorang untuk terus berkembang bukan demi kepentingan pribadi semata, melainkan demi sesuatu yang lebih besar. Seperti api dalam tungku Pak Karjo, keinginan sejati tidak membakar untuk menghancurkan, melainkan untuk mengubah sesuatu yang kasar menjadi karya seni.

Sejarah mencatat bahwa para tokoh besar dunia memiliki satu kesamaan: mereka dikuasai oleh keinginan yang melampaui diri mereka sendiri. Mahatma Gandhi memiliki keinginan yang membara untuk membebaskan India, namun keinginan itu disalurkan melalui jalan ahimsa—tanpa kekerasan. Thomas Edison memiliki obsesi terhadap penerangan listrik, namun ia sadar bahwa obsesi itu bermakna hanya jika bisa menerangi kehidupan jutaan orang. Dalam konteks Indonesia, Bung Karno memiliki keinginan yang sangat kuat untuk merdeka, namun kemerdekaan yang ia perjuangkan bukan sekadar lepas dari penjajahan fisik, melainkan kemerdekaan jiwa bangsa.

Keinginan yang sejati, dengan demikian, bukanlah hasrat yang egoistis. Ia adalah panggilan yang datang dari kedalaman jiwa, yang mengandung dimensi altruistik—untuk kebaikan yang lebih luas. Hill menyebutnya sebagai definite chief aim—tujuan utama yang jelas. Namun kejelasan di sini bukan sekadar kejelasan rasional, melainkan kejernihan hati yang mampu membedakan antara keinginan yang membangun dan keinginan yang menghancurkan.

Di era digital ini, konsep desire Hill seringkali disalahpahami sebagai instant gratification—kepuasan instan. Media sosial memicu hasrat yang artifisial, yang dangkal, yang berubah-ubah setiap detik. Orang berlomba mengejar likes, followers, atau viral content tanpa memahami bahwa keinginan sejati membutuhkan waktu untuk dimatangkan, seperti wine yang memerlukan fermentasi bertahun-tahun untuk mencapai rasa terbaiknya. Keinginan yang sejati tidak bisa dipercepat dengan teknologi; ia memerlukan kontemplasi, kesabaran, dan yang terpenting, keberanian untuk menghadapi ketidakpastian.

Dalam tradisi Minangkabau, ada pepatah: "Buliah sakali aie gadang, dibaok ka halaman." Artinya: walau air besar, bisa dibawa ke halaman—dengan kesabaran dan keterampilan. Pepatah ini mengajarkan bahwa keinginan yang besar bisa diwujudkan, namun memerlukan strategi, ketekunan, dan yang terpenting, timing yang tepat. Tidak semua keinginan harus direalisasikan sekarang juga; ada keinginan yang harus menunggu musimnya, seperti petani yang tidak menanam padi di musim kemarau.

Hill dalam bukunya juga menekankan pentingnya persistence—ketekunan. Namun ketekunan yang dimaksud bukan ketekunan buta, melainkan ketekunan yang cerdas, yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensi. Seperti seorang dalang yang telah puluhan tahun memainkan wayang: ia hafal setiap tokoh, setiap alur cerita, namun dalam setiap pertunjukan, ia selalu menemukan cara baru untuk menyampaikan pesan yang sama dengan nuansa yang berbeda.

Namun, apakah semua keinginan layak diperjuangkan? Di sinilah pentingnya discernment—kemampuan membedakan. Dalam ajaran Islam, ada konsep hubb al-dunya dan hubb al-akhirah—cinta dunia dan cinta akhirat. Keduanya bukan sesuatu yang harus dipisahkan secara dikotomis, melainkan harus diintegrasikan secara harmonis. Keinginan terhadap kesuksesan duniawi sah-sah saja, asalkan tidak melupakan dimensi spiritual dan tanggung jawab sosial.

Menarik untuk dicermati bahwa Hill, meskipun menulis di era kapitalisme awal Amerika, sebenarnya memiliki pemahaman yang cukup mendalam tentang dimensi spiritual keinginan. Ia menyebutkan bahwa keinginan yang paling kuat adalah keinginan yang berhubungan dengan service to others—pelayanan kepada sesama. Hal ini sejalan dengan konsep karma yoga dalam tradisi Hindu, atau amal saleh dalam Islam—bahwa tindakan yang paling bermakna adalah tindakan yang memberikan manfaat bagi orang lain.

Kini, di tengah kompleksitas kehidupan modern, konsep Hill tentang desire mungkin perlu diinterpretasikan ulang. Keinginan tidak lagi sekadar tentang kekayaan material atau prestise sosial, melainkan tentang meaningful life—kehidupan yang bermakna. Generasi milenial dan Gen Z, misalnya, lebih tertarik pada purpose-driven career ketimbang sekadar high-paying job. Mereka menginginkan pekerjaan yang selaras dengan nilai-nilai personal mereka, yang memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.

Dalam konteks Indonesia kontemporer, keinginan kolektif bangsa ini mungkin sedang mencari bentuk barunya. Setelah hampir delapan dekade merdeka, Indonesia masih bergulat dengan pertanyaan eksistensial: hendak kemana bangsa ini? Apa keinginan terdalam Indonesia sebagai sebuah entitas peradaban? Apakah sekadar menjadi negara maju dalam arti ekonomi, ataukah ada visi yang lebih dalam, yang berkaitan dengan kontribusi Indonesia bagi peradaban dunia?

Mungkin jawabannya terletak pada redefinisi konsep desire itu sendiri. Keinginan yang sejati bukanlah sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang memiliki kita. Ia adalah panggilan yang tidak bisa kita tolak, yang mengubah kita menjadi instrumen bagi sesuatu yang lebih besar dari diri kita. Seperti api dalam tungku Pak Karjo yang tidak pernah padam, keinginan sejati adalah api yang menyala terus, bukan untuk membakar, melainkan untuk menerangi.

"Keinginan tanpa tindakan hanyalah mimpi. Tindakan tanpa keinginan hanyalah rutinitas. Keinginan dengan tindakan akan mengubah dunia." - Napoleon Hill

Pada akhirnya, mungkin pertanyaan yang paling penting bukanlah seberapa besar keinginan kita, melainkan seberapa murni keinginan itu. Apakah ia datang dari ego yang rakus, ataukah dari jiwa yang rindu berkontribusi? Apakah ia akan mati bersama kematian kita, ataukah akan terus hidup dalam karya-karya yang kita tinggalkan? Seperti bara api yang tidak pernah benar-benar padam, keinginan sejati akan terus menyala, bahkan ketika tubuh ini telah kembali ke tanah.

Wallahu a'lam...

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.


Daftar Pustaka

Hill, N. (1937). Think and Grow Rich. The Ralston Society.

Mohamad, G. (2004). Catatan Pinggir 1. Tempo Publishing.

Mulder, N. (1992). Individual and Society in Java: A Cultural Analysis. Gadjah Mada University Press.

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka.

Nasr, S. H. (1981). Knowledge and the Sacred. SUNY Press.

***

Baca Juga

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Entri yang Diunggulkan

Formulir Kontak

.