Baca Juga
"Keyakinan bukanlah sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita jalani. Ia bukan noun, melainkan verb—bukan kata benda, melainkan kata kerja." - Paul Tillich (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
DUNIA ESAI - Refleksi mendalam tentang keyakinan sebagai fondasi kehidupan, dari Napoleon Hill hingga kebijaksanaan spiritual Nusantara.
Hashtag: #TitianKeyakinan #Faith #ThinkAndGrowRich #KebijaksanaanSpiritual
Titian Keyakinan
"Keyakinan adalah substansi dari hal-hal yang diharapkan, bukti dari hal-hal yang tidak terlihat." - Kitab Ibrani 11:1
Di sebuah kampung nelayan di pesisir Cilacap, saya pernah bertemu dengan Mak Ijah, seorang perempuan tua yang setiap subuh berdiri di tepi pantai sambil membawa sesajen sederhana. "Ini bukan musyrik, Mas," katanya dengan senyum yang dalam, seakan membaca keraguan di wajah saya. "Ini tawakkal. Saya yakin, laut akan memberi rezeki untuk anak-cucu saya. Tapi saya juga harus berusaha, berdoa, dan mempercayai takdir-Nya."
Dalam kesederhanaan tutur Mak Ijah, tersimpan kebenaran yang pernah dirumuskan Napoleon Hill dalam Think and Grow Rich: faith—keyakinan—adalah fondasi dari segala pencapaian yang tampak mustahil. Namun keyakinan yang dimaksud Hill bukanlah kepercayaan buta, melainkan active faith—keyakinan yang melahirkan tindakan.
Faith. Dalam bahasa Inggris, kata ini menyimpan kompleksitas makna yang sulit diterjemahkan secara utuh ke dalam bahasa Indonesia. Bukan sekadar "keyakinan" atau "kepercayaan", faith mengandung dimensi yang lebih dalam: kepercayaan yang disertai komitmen, keyakinan yang melahirkan keberanian, iman yang memungkinkan seseorang melangkah di atas air yang tampak tidak stabil. Hill, dalam observasinya terhadap para tokoh sukses Amerika di awal abad ke-20, menemukan bahwa mereka semua memiliki satu kesamaan: keyakinan yang tidak tergoyahkan terhadap visi mereka, bahkan ketika seluruh dunia meragukan mereka.
Namun apa yang membedakan keyakinan sejati dengan ilusi belaka? Dalam tradisi Jawa, ada konsep yakin yang berbeda dengan sekadar percaya. Yakin berasal dari akar kata Arab yang bermakna "kepastian yang lahir dari pengalaman spiritual", sementara percaya bisa bersifat rasional atau bahkan spekulatif. Seorang yang yakin tidak memerlukan bukti eksternal karena ia telah merasakan kebenaran itu dalam batin-nya. Seperti Mak Ijah yang yakin pada kebaikan laut—bukan karena statistik perikanan atau prediksi cuaca, melainkan karena ia telah merasakan kehadiran Yang Maha Kuasa dalam setiap gelombang yang berdebu.
Menarik untuk dicermati bahwa Hill, meskipun menulis dalam konteks kapitalisme Amerika, sebenarnya memahami dimensi spiritual dari keyakinan. Ia menyebutkan bahwa faith yang paling kuat adalah keyakinan yang berhubungan dengan higher purpose—tujuan yang lebih mulia. Hal ini sejalan dengan konsep taqwa dalam Islam atau shraddha dalam Hindu—keyakinan yang bukan hanya bersifat mental, melainkan melibatkan seluruh eksistensi manusia: pikiran, perasaan, dan tindakan.
Dalam sejarah Indonesia, kita bisa melihat bagaimana keyakinan menjadi kekuatan penggerak perubahan besar. Bung Karno memiliki keyakinan yang membara terhadap kemerdekaan Indonesia, bahkan ketika secara rasional peluang itu tampak kecil. Keyakinannya bukan didasarkan pada perhitungan militer atau ekonomi, melainkan pada inner conviction—keyakinan batin—bahwa bangsa Indonesia layak merdeka. Demikian pula dengan Kartini yang yakin bahwa perempuan Indonesia bisa setara dengan laki-laki dalam pendidikan, meskipun zamannya belum mendukung gagasan itu.
Namun keyakinan tanpa tindakan adalah wishful thinking—angan-angan kosong. Hill menekankan bahwa faith sejati selalu disertai dengan persistent action—tindakan yang konsisten. Dalam konteks spiritual, ini sejalan dengan konsep amal saleh—perbuatan baik yang merupakan manifestasi dari iman. Keyakinan yang sejati tidak berhenti pada level konseptual; ia harus diwujudkan dalam realitas konkret.
Di era digital ini, kita dihadapkan pada krisis keyakinan yang unik. Informasi berlebihan justru membuat orang semakin ragu dan skeptis. Fake news, teori konspirasi, dan polarisasi membuat sulit untuk percaya pada apapun. Namun mungkin inilah saatnya kita kembali pada keyakinan yang berakar pada inner wisdom—kebijaksanaan batin—bukan pada opini influencer atau tren viral. Seperti yang diajarkan dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV: "Yogya nguni lamun wonten, ingkang esthi mring tyasira"—baik sekali jika ada yang meyakini dalam hatinya.
Keyakinan sejati juga memerlukan keberanian untuk menghadapi ketidakpastian. Dalam terminologi eksistensialis seperti Kierkegaard, ini disebut leap of faith—lompatan keyakinan. Seperti seorang penari yang melompat tanpa tahu persis di mana ia akan mendarat, namun yakin bahwa gravitasi akan bekerja dan kakinya akan menemukan pijakan. Mak Ijah melakukan leap of faith setiap kali ia melepas perahu suaminya ke laut lepas—yakin bahwa sang suami akan kembali dengan hasil tangkapan, meskipun badai bisa datang kapan saja.
Dalam psikologi modern, keyakinan sering dikaitkan dengan konsep self-efficacy—kepercayaan diri terhadap kemampuan sendiri. Namun keyakinan spiritual lebih dalam dari itu; ia melibatkan kepercayaan terhadap cosmic order—tatanan alam semesta yang lebih besar. Orang Jawa menyebutnya takdir, orang Bali mengenalnya sebagai karma, sementara orang Batak memahaminya sebagai sahala. Semua konsep ini menunjukkan keyakinan bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari diri kita yang mengatur jalannya kehidupan.
Namun keyakinan ini bukan fatalism—pasrah total tanpa usaha. Justru sebaliknya, keyakinan sejati melahirkan empowerment—pemberdayaan diri. Ketika seseorang yakin bahwa ia adalah bagian dari rencana besar alam semesta, ia akan bertindak dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi. Seperti filosofi Jawa: "Manunggaling kawula Gusti"—menyatunya hamba dengan Tuhan—yang mengajarkan bahwa tindakan manusia adalah manifestasi dari kehendak Ilahi.
Hill juga menyinggung pentingnya auto-suggestion—sugesti diri dalam membangun keyakinan. Namun sugesti ini bukan sekadar positive thinking yang dangkal, melainkan proses reprogramming pikiran bawah sadar dengan keyakinan-keyakinan yang konstruktif. Dalam tradisi Islam, ini mirip dengan dzikir—mengingat Allah secara berulang-ulang hingga keyakinan itu meresap ke dalam jiwa. Dalam tradisi Hindu-Buddha, ini dikenal sebagai mantra—pengulangan kata-kata sakral yang mengubah frekuensi consciousness.
Menarik untuk dicermati bahwa di berbagai tradisi spiritual Nusantara, keyakinan selalu dikaitkan dengan service—pelayanan kepada sesama. Keyakinan yang sejati tidak pernah egois; ia selalu melahirkan kebaikan untuk komunitas yang lebih luas. Seperti yang diajarkan dalam filosofi Tri Hita Karana Bali: keseimbangan antara hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Keyakinan yang matang adalah keyakinan yang memahami interdependensi—saling ketergantungan—semua makhluk.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, mungkin kita memerlukan redefinisi keyakinan kolektif sebagai bangsa. Apa yang kita yakini tentang masa depan Indonesia? Apakah kita yakin bahwa Indonesia bisa menjadi negara maju tanpa kehilangan nilai-nilai ketimuran? Apakah kita yakin bahwa kebhinekaan adalah kekuatan, bukan kelemahan? Keyakinan kolektif ini akan menentukan arah perjalanan bangsa ini di abad ke-21.
Namun keyakinan juga memerlukan humility—kerendahan hati. Yakin bukan berarti arrogant—sombong atau merasa paling benar. Keyakinan sejati selalu disertai dengan keterbukaan untuk belajar dan berubah. Seperti yang diajarkan Rumi: "Sell your cleverness and buy bewilderment"—jual kepintaranmu dan belilah keheranan. Orang yang benar-benar yakin justru selalu merasa heran dengan misteri kehidupan yang tak pernah habis untuk dipelajari.
Dalam praktik sehari-hari, keyakinan bisa dilatih melalui hal-hal sederhana: konsisten dengan komitmen kecil, menepati janji pada diri sendiri, dan berani mengambil risiko yang terukur. Seperti seorang petani yang yakin pada musim hujan meskipun langit masih cerah—ia tetap menanam karena yakin pada siklus alam. Keyakinan dibangun melalui pengalaman-pengalaman kecil yang membuktikan bahwa alam semesta responsive—responsif terhadap niat baik kita.
Hill menulis bahwa keyakinan adalah mental attitude yang dapat dipelajari dan dikembangkan. Namun dalam tradisi spiritual, keyakinan lebih dari sekadar sikap mental; ia adalah state of being—keadaan eksistensi yang melibatkan seluruh diri kita. Ketika keyakinan telah meresap ke dalam jiwa, ia tidak lagi memerlukan effort—usaha keras—untuk mempertahankannya. Ia menjadi seperti napas: otomatis, natural, dan life-sustaining.
"Keyakinan bukanlah sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita jalani. Ia bukan noun, melainkan verb—bukan kata benda, melainkan kata kerja." - Paul Tillich
Pada akhirnya, mungkin keyakinan sejati bukanlah tentang memiliki jawaban atas semua pertanyaan, melainkan tentang keberanian untuk terus bertanya sambil tetap melangkah. Seperti Mak Ijah yang setiap pagi berdiri di tepi pantai—bukan karena ia tahu persis apa yang akan terjadi, melainkan karena ia yakin bahwa hidup ini layak untuk dijalani dengan penuh kepercayaan. Bukankah keyakinan, pada dasarnya, adalah seni untuk menari dengan ketidakpastian?
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka
Hill, N. (1937). Think and Grow Rich. The Ralston Society.
Mangkunegara IV. (1860). Serat Wedhatama. Kasunanan Surakarta.
Mohamad, G. (2010). Catatan Pinggir 4. Tempo Publishing.
Mulder, N. (1992). Individual and Society in Java: A Cultural Analysis. Gadjah Mada University Press.
Tillich, P. (1957). Dynamics of Faith. Harper & Row.
Kierkegaard, S. (1843). Fear and Trembling. C.A. Reitzel.
Rumi, J. (1207-1273). The Essential Rumi. Trans. Coleman Barks. HarperSanFrancisco.
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.