Jejak di Senja #SuratCintaLansia #SenyumLansia #HLUN2025

"Dalam setiap surat yang ditulis dengan cinta, tersimpan jembatan antara generasi. Dan dalam setiap senyuman lansia yang menerima surat itu, terpancar harapan bahwa kemanusiaan masih memiliki tempat di dunia yang semakin keras ini." (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

DUNIA ESAI "Waktu bukanlah musuh bagi mereka yang telah belajar menari bersamanya. Di setiap kerutan wajah, tersembunyi cerita yang tak pernah usai dituturkan."

Ada sesuatu yang mengharukan ketika melihat seorang kakek duduk di teras rumah pada sore yang mulai beranjak senja. Tangannya yang keriput memegang secangkir teh hangat, matanya menatap jauh ke cakrawala seolah sedang membaca ulang lembaran-lembaran hidupnya. Di balik kerutan-kerutan itu, tersimpan jutaan detik yang telah dilaluinya—tawa, tangis, kegembiraan, dan duka yang telah menjadi mozaik kehidupan.

Marcel Proust pernah menulis tentang waktu yang hilang dan ditemukan kembali. Namun bagi para lansia, waktu tak pernah benar-benar hilang. Ia tersimpan dalam setiap lipatan kulit, dalam setiap helaan napas yang semakin dalam, dalam setiap langkah yang mulai melambat namun semakin bermakna. Mereka adalah perpustakaan hidup yang berjalan, menyimpan wisdom yang tak tergantikan dalam era digital yang serba cepat ini.

Hari Lanjut Usia Nasional ke-29 tahun 2025 menghadirkan tema yang menyentuh: "Gerakan Semua Cinta Lansia: Satu Surat, Sejuta Senyuman." Ada ironi yang halus dalam frasa ini—di zaman pesan instan dan emoji, kita kembali pada tradisi surat sebagai medium untuk menyampaikan cinta. Seolah-olah teknologi yang begitu canggih tak mampu menyamai kehangatan tinta di atas kertas, atau sentuhan tangan yang menulis dengan penuh perhatian.

Surat cinta untuk lansia. Bukan sekadar kalimat romantis seperti yang ditulis Chairil Anwar untuk kekasihnya, melainkan surat yang berisi penghormatan pada perjalanan hidup yang telah mereka tempuh. Surat yang mengakui bahwa setiap kerutan di wajah mereka adalah medal kehormatan, setiap rambut putih adalah mahkota pengalaman. Dalam surat itu, kita tidak hanya menyampaikan terima kasih, tetapi juga pengakuan bahwa merekalah yang telah membangun fondasi dunia tempat kita berpijak hari ini.

Gabriel García Márquez dalam "Love in the Time of Cholera" menggambarkan cinta yang bertahan hingga usia senja. Namun cinta pada lansia bukan hanya soal romantisme, melainkan tentang menghargai kontinuitas kehidupan. Mereka adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan modernitas. Dalam setiap cerita yang mereka tuturkan, tersimpan nilai-nilai yang mungkin sudah mulai terkikis oleh arus zaman.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah lansia di Indonesia terus meningkat. Pada 2023, proporsi penduduk berusia 60 tahun ke atas mencapai 11,2 persen dari total populasi. Angka ini bukan sekadar statistik demografis, melainkan refleksi dari perubahan sosial yang mendasar. Indonesia sedang mengalami transisi demografis—dari negara muda menuju negara yang semakin berumur. Namun apakah kita sudah siap menerima perubahan ini dengan sepenuh hati?

Dalam tradisi Jawa, ada konsep "sepuh" yang tidak sekadar merujuk pada usia, tetapi pada kebijaksanaan dan kearifan yang datang bersama pengalaman hidup. Sepuh adalah mereka yang telah melewati berbagai musim kehidupan dan mampu melihat pola-pola yang tak terlihat oleh mata yang lebih muda. Mereka memahami bahwa hidup bukanlah garis lurus menuju sukses, melainkan spiral yang kadang naik, kadang turun, tetapi selalu bergerak menuju kedewasaan spiritual.

Surat cinta untuk lansia adalah bentuk pengakuan pada kontribusi mereka yang tak terhitung. Mereka yang telah membangun infrastruktur negara ini, yang telah berjuang mempertahankan kemerdekaan, yang telah mengasuh generasi-generasi penerus dengan penuh pengorbanan. Ketika kita menulis surat untuk mereka, kita sebenarnya sedang menulis surat untuk masa depan diri kita sendiri—karena jika beruntung, suatu hari nanti kita pun akan menjadi lansia yang membutuhkan cinta dan penghargaan yang sama.

Simone de Beauvoir dalam "The Coming of Age" menulis tentang bagaimana masyarakat modern cenderung mengabaikan lansia, menganggap mereka sebagai beban daripada aset. Padahal, dalam setiap lansia terdapat perpustakaan yang tak ternilai—pengalaman, kebijaksanaan, dan perspektif yang telah teruji oleh waktu. Mereka adalah saksi sejarah yang hidup, yang telah menyaksikan perubahan zaman dengan mata kepala sendiri.

Gerakan "Satu Surat, Sejuta Senyuman" mengundang kita untuk merenungkan kembali makna menghargai. Senyuman yang terpancar dari wajah lansia ketika menerima surat bukanlah sekadar ekspresi kegembiraan, melainkan pengakuan bahwa mereka masih dianggap, masih diingat, masih dicintai. Dalam era digital yang serba cepat ini, kehadiran fisik surat menjadi simbol perhatian yang sungguh-sungguh, bukan sekadar likes atau emoticon yang bisa diberikan dalam hitungan detik.

Ada psikologi yang mendalam dalam tradisi menulis surat. Ketika kita menulis dengan tangan, otak kita bekerja lebih lambat namun lebih mendalam dibandingkan ketika mengetik. Setiap goresan pena adalah hasil dari kontemplasi, setiap kata dipilih dengan lebih hati-hati. Bagi lansia yang menerima surat, mereka bisa merasakan energi dan perhatian yang terpancar dari setiap huruf yang tertulis.

Namun di balik gerakan yang indah ini, tersimpan pertanyaan yang lebih mendasar: apakah kita sudah benar-benar memahami apa yang dibutuhkan oleh lansia? Apakah sekadar surat sudah cukup, ataukah mereka membutuhkan sesuatu yang lebih substansial—seperti akses kesehatan yang memadai, jaminan sosial yang layak, atau bahkan sekadar kehadiran fisik yang konsisten dari keluarga dan masyarakat?

Dr. Robert Butler, yang pertama kali memperkenalkan istilah "ageism", mengingatkan kita bahwa diskriminasi berdasarkan usia adalah salah satu bentuk prejudis yang paling tersembunyi namun paling merusak dalam masyarakat modern. Lansia sering dianggap tidak produktif, tidak relevan, atau bahkan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Padahal, produktivitas sejati tidak selalu diukur dari kemampuan fisik atau kontribusi ekonomis, melainkan dari kebijaksanaan, pengalaman, dan nilai-nilai yang bisa mereka wariskan.

Dalam konteks Indonesia, penghormatan pada lansia sebenarnya sudah tertanam dalam berbagai tradisi lokal. Konsep "bakti pada orang tua" dalam budaya Jawa, "somah" dalam budaya Sunda, atau "sipakatau" dalam budaya Bugis—semuanya mengajarkan bahwa menghormati lansia bukan sekadar kewajiban moral, melainkan investasi spiritual dan sosial untuk keberlangsungan masyarakat.

Ketika kita menulis surat cinta untuk lansia, kita sebenarnya sedang menulis surat untuk peradaban. Karena peradaban yang sejati bukan hanya diukur dari kemajuan teknologi atau pertumbuhan ekonomi, melainkan dari cara masyarakat memperlakukan anggotanya yang paling rentan—anak-anak dan lansia. Surat yang kita tulis adalah manifestasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar: empati, penghargaan, dan cinta tanpa syarat.

"Dalam setiap surat yang ditulis dengan cinta, tersimpan jembatan antara generasi. Dan dalam setiap senyuman lansia yang menerima surat itu, terpancar harapan bahwa kemanusiaan masih memiliki tempat di dunia yang semakin keras ini."

Wallahu a'lam...

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.


Daftar Pustaka

Beauvoir, S. de. (1972). The Coming of Age. W. W. Norton & Company.

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2023. Jakarta: BPS.

Butler, R. N. (1969). Age-ism: Another form of bigotry. The Gerontologist, 9(4), 243-246.

García Márquez, G. (1988). Love in the Time of Cholera. Jonathan Cape.

Proust, M. (1913-1927). À la recherche du temps perdu. Grasset.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Entri yang Diunggulkan

Formulir Kontak

Pro Blogger Templates