Bara Generasi Muda

"Masa depan bukanlah tempat yang akan kita tuju, tetapi tempat yang kita ciptakan. Jalan menuju ke sana tidak ditemukan, tetapi dibuat. Dan proses pembuatannya mengubah baik si pembuat maupun tujuan itu sendiri." â€” John Schaar (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

DUNIA ESAI "Generasi muda adalah api yang akan menyalakan masa depan, tetapi api itu harus diarahkan agar tidak membakar habis harapan yang ingin diwujudkan." — José Martí

Di sebuah warung kopi di sudut Jalan Malioboro, seorang mahasiswa menatap layar laptopnya dengan mata berbinar. Jemarinya menari di atas keyboard, merancang aplikasi yang katanya akan mengubah cara petani kecil memasarkan hasil panen. Ia tidak tahu bahwa di saat bersamaan, ribuan kilometer dari sana, seorang anak desa di Flores sedang mengajarkan teman-temannya membaca dengan memanfaatkan ponsel bekas yang ia dapat dari program CSR sebuah perusahaan. Keduanya tidak saling mengenal, namun keduanya tengah menjadi bagian dari sebuah narasi besar yang mungkin akan mengubah wajah Indonesia.

Pemuda Indonesia hari ini hidup dalam paradoks yang menarik. Mereka adalah generasi yang lahir di era digital, terbiasa dengan kecepatan informasi dan kemudahan akses pengetahuan, namun di saat yang sama mereka juga menjadi saksi dari berbagai persoalan struktural yang tampak mengakar begitu dalam. Kemiskinan, ketimpangan, korupsi, degradasi lingkungan—semua itu hadir sebagai warisan yang harus mereka tanggung. Namun, alih-alih terpuruk dalam pesimisme, banyak di antara mereka yang memilih jalan berbeda: memulai dari yang kecil, dari yang bisa dijangkau tangan mereka sendiri.

Soekarno pernah berkata bahwa pemuda adalah tulang punggung bangsa. Namun metafora tulang punggung ini mungkin terlalu kaku untuk menggambarkan pemuda Indonesia kontemporer. Mereka lebih seperti air—mengalir, adaptif, mencari celah-celah kecil untuk masuk dan mengubah dari dalam. Mereka tidak lagi berteriak di panggung-panggung besar dengan jargon revolusioner, tetapi bekerja dalam keheningan, menciptakan inovasi-inovasi kecil yang dampaknya baru terasa bertahun-tahun kemudian.

Perhatikan bagaimana gerakan-gerakan kecil ini bermunculan. Ada yang memulai dari dapur rumah, membuat produk makanan sehat untuk komunitas lokalnya. Ada yang memulai dari kampung halamannya, mengajari anak-anak desa menggunakan teknologi. Ada yang memulai dari kelompok study circle kecil, mendiskusikan solusi-solusi alternatif untuk persoalan sosial. Mereka tidak berambisi menjadi presiden atau menteri, tetapi mereka memiliki obsesi untuk mengubah lingkaran kecil di sekitar mereka.

Hannah Arendt dalam karyanya tentang kondisi manusia pernah menulis bahwa tindakan politik yang sesungguhnya tidak selalu harus besar dan heroik. Terkadang, tindakan yang paling bermakna adalah yang paling sederhana—yang dilakukan dalam keheningan, tanpa sorotan kamera, tanpa pujian massa. Pemuda Indonesia hari ini seperti sedang mempraktikkan pemahaman Arendt ini. Mereka memilih untuk bertindak dalam skala yang dapat mereka kontrol, dalam lingkup yang dapat mereka ukur dampaknya secara langsung.

Namun, apakah aksi-aksi kecil ini cukup untuk mengubah struktur yang begitu masif dan kompleks? Apakah inovasi-inovasi lokal ini mampu bersaing dengan kekuatan-kekuatan global yang jauh lebih besar? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, namun mungkin pertanyaan itu sendiri yang keliru. Sebab, perubahan besar tidak selalu dimulai dari atas, tidak selalu berasal dari kebijakan-kebijakan grand design. Terkadang, perubahan dimulai dari bawah, dari akumulasi tindakan-tindakan kecil yang pada mulanya tampak tidak berarti.

Sejarah Indonesia sendiri memberikan pelajaran tentang hal ini. Kebangkitan nasional pada awal abad ke-20 tidak dimulai dari satu gerakan besar yang terorganisir secara sentralistik, tetapi dari berbagai inisiatif kecil yang tersebar di berbagai daerah. Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij—semuanya dimulai dari kelompok-kelompok kecil yang memiliki visi lokal namun berkontribusi pada narasi besar kemerdekaan. Pola ini seperti terulang kembali, meski dalam konteks yang berbeda.

Generasi muda Indonesia hari ini tidak lagi dihadapkan pada penjajahan fisik, tetapi pada berbagai bentuk penjajahan baru: penjajahan ekonomi, teknologi, budaya, bahkan penjajahan pikiran. Mereka tidak bisa melawan dengan senjata atau demonstrasi massal seperti generasi pendahulu mereka. Mereka harus mencari cara-cara baru, strategi-strategi yang lebih halus namun tidak kalah efektif. Dan mereka menemukannya dalam bentuk inovasi, kreativitas, dan kolaborasi.

Menarik untuk melihat bagaimana mereka memanfaatkan teknologi. Tidak hanya sebagai konsumen, tetapi sebagai kreator. Mereka menciptakan aplikasi untuk membantu petani, platform untuk menghubungkan pengrajin dengan pasar global, sistem untuk memonitor kualitas udara di kota-kota besar. Mereka tidak hanya bicara tentang perubahan, tetapi menciptakan alat-alat untuk perubahan itu sendiri. Dalam konteks ini, mereka bukan hanya generasi digital native, tetapi digital creator.

Paulo Freire dalam konsep pendidikan kritisnya pernah menekankan pentingnya praxis—kombinasi antara refleksi dan aksi. Pemuda Indonesia kontemporer seperti mewujudkan konsep ini. Mereka tidak hanya merefleksikan persoalan-persoalan di sekitar mereka, tetapi juga bertindak untuk mengatasinya. Mereka tidak hanya mengkritik sistem yang ada, tetapi juga menciptakan alternatif-alternatif baru. Inilah yang membedakan mereka dari generasi-generasi sebelumnya yang terkadang terjebak dalam romantisme perlawanan tanpa solusi konkret.

Tentu saja, tidak semua inisiatif kecil ini akan bertahan atau berkembang menjadi sesuatu yang besar. Banyak yang akan mati di tengah jalan, tersandung oleh berbagai keterbatasan: modal, jaringan, pengalaman, atau sekadar keberuntungan. Namun, yang penting bukanlah tingkat keberhasilannya, melainkan ekosistem yang tercipta dari berbagai percobaan ini. Setiap kegagalan adalah pembelajaran, setiap keberhasilan kecil adalah inspirasi bagi yang lain. Dan dari akumulasi pembelajaran dan inspirasi inilah perubahan besar pada akhirnya akan terjadi.

Kita bisa membayangkan Indonesia dua dekade mendatang sebagai hasil dari eksperimen-eksperimen kecil yang sedang berlangsung saat ini. Mungkin aplikasi yang diciptakan mahasiswa di Yogyakarta akan menjadi platform nasional yang mengubah cara distribusi pangan di Indonesia. Mungkin program literasi digital yang dimulai anak desa di Flores akan menjadi model pendidikan alternatif yang diadopsi di seluruh nusantara. Mungkin komunitas-komunitas kecil yang kini tersebar di berbagai kota akan menjadi embrio dari gerakan sosial yang lebih besar.

Namun, ada risiko yang perlu diwaspadai. Dalam semangat untuk menciptakan dampak, jangan sampai pemuda Indonesia terjebak dalam apa yang bisa disebut sebagai "sindrom superhero"—keyakinan bahwa mereka harus menyelamatkan dunia sendirian. Perubahan yang berkelanjutan memerlukan kolaborasi, memerlukan ekosistem yang saling mendukung. Individu yang brilian mungkin bisa menciptakan inovasi yang mengagumkan, tetapi hanya kolektif yang solid yang bisa memastikan inovasi itu dapat diimplementasikan secara luas dan berkelanjutan.

Di sinilah peran komunitas menjadi krusial. Bukan komunitas dalam pengertian tradisional yang terikat oleh geografis atau etnisitas, tetapi komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan visi dan misi. Komunitas yang melampaui batas-batas fisik, yang terhubung melalui teknologi namun digerakkan oleh komitmen bersama untuk perubahan. Komunitas semacam ini sudah mulai bermunculan, dan mereka berpotensi menjadi kekuatan transformatif yang sangat signifikan.

Mungkin inilah yang dimaksud Albert Einstein ketika ia berkata bahwa kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan pola pikir yang sama dengan yang menciptakan masalah tersebut. Pemuda Indonesia hari ini sedang mencoba keluar dari pola pikir lama—pola pikir yang mengandalkan negara untuk menyelesaikan semua masalah, pola pikir yang menunggu solusi datang dari atas, pola pikir yang melihat perubahan sebagai sesuatu yang harus besar dan dramatis. Mereka mencoba pola pikir baru: mengambil inisiatif sendiri, mulai dari yang kecil, bekerja dari bawah ke atas, menciptakan perubahan yang bertahap namun berkelanjutan.

Tentu saja, pendekatan ini bukan tanpa kritik. Ada yang mengatakan bahwa fokus pada aksi-aksi kecil bisa mengalihkan perhatian dari perlunya perubahan struktural yang fundamental. Ada yang khawatir bahwa inovasi-inovasi individual ini bisa menjadi tameng bagi sistem yang eksploitatif untuk mempertahankan status quo. Ada yang melihat semangat entrepreneur social ini sebagai bentuk privatisasi tanggung jawab negara. Kritik-kritik ini ada benarnya dan patut dipertimbangkan.

Namun, mungkin yang diperlukan bukanlah memilih antara perubahan struktural atau aksi individual, antara revolusi atau evolusi, antara gerakan massa atau inovasi kecil. Yang diperlukan adalah sintesis dari berbagai pendekatan ini. Aksi-aksi kecil yang dilakukan pemuda Indonesia hari ini bisa menjadi fondasi untuk perubahan yang lebih besar. Inovasi-inovasi lokal bisa menjadi model untuk kebijakan nasional. Gerakan-gerakan grassroot bisa menjadi kekuatan politik yang legitimit.

Yang menarik dari fenomena ini adalah bagaimana pemuda Indonesia berhasil menghindari jebakan idealisme yang steril maupun pragmatisme yang buta. Mereka idealis dalam visi mereka tentang Indonesia yang lebih baik, namun pragmatis dalam cara mereka mengejar visi tersebut. Mereka tidak terjebak dalam debat-debat teoretis yang tidak berujung, tetapi juga tidak sembarangan bertindak tanpa landasan pemikiran yang matang. Mereka memiliki apa yang bisa disebut sebagai "idealisme yang membumi"—cita-cita yang tinggi namun kaki yang tetap menapak tanah.

"Masa depan bukanlah tempat yang akan kita tuju, tetapi tempat yang kita ciptakan. Jalan menuju ke sana tidak ditemukan, tetapi dibuat. Dan proses pembuatannya mengubah baik si pembuat maupun tujuan itu sendiri." — John Schaar

Dalam keheningan malam, ketika hiruk-pikuk aktivitas siang hari telah mereda, mungkin kita bisa mendengar suara-suara kecil yang sedang mengubah dunia. Suara jemari yang mengetik kode program, suara diskusi-diskusi intens di ruang-ruang kecil, suara anak-anak yang belajar membaca dengan bantuan teknologi sederhana. Suara-suara ini mungkin tidak terdengar di panggung-panggung besar politik, tidak tercatat dalam berita utama media massa, tetapi mereka adalah suara masa depan Indonesia.

Bara kecil, jika dirawat dengan baik, bisa menjadi api yang menerangi. Tetapi bara juga bisa padam jika tidak ada angin yang meniupnya. Tugas kita bersama adalah memastikan angin itu terus bertiup, ekosistem itu terus terjaga, dan semangat itu terus menyala.

Atau mungkin pertanyaannya bukan apakah bara-bara kecil ini akan menjadi api besar, tetapi apakah kita cukup sabar untuk menunggu dan cukup bijak untuk tidak memadamkannya?

Wallahu a'lam...

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1958). The Human Condition. University of Chicago Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum International Publishing Group.

Martí, J. (1891). Nuestra América. La Revista Ilustrada de Nueva York.

Schaar, J. (1981). Legitimacy in the Modern State. Transaction Publishers.

Soekarno. (1926). Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Dewan Rakyat.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Entri yang Diunggulkan

Tubuh Sejahtera, Jiwa Bahagia

Formulir Kontak

Pro Blogger Templates