Baca Juga
"Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia, tetapi hanya jika senjata itu diarahkan untuk membebaskan, bukan membelenggu." — Nelson Mandela (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
DUNIA ESAI - "Pendidikan yang sejati bukanlah tentang mengisi ember yang kosong, tetapi menyulut api yang telah padam." — William Butler Yeats
Suatu pagi, saya menyaksikan pertunjukan boneka yang aneh. Para boneka berseragam rapi, duduk tegak dalam barisan sempurna. Dalang di belakang layar menggerakkan tali-tali halus. Setiap boneka mengangguk serentak saat dalang berkata "ya", menggeleng bersamaan saat dalang berkata "tidak". Pertunjukan yang indah, jika saja ini bukan ruang kelas.
Beginilah potret pendidikan kita. Sebuah panggung boneka yang megah.
Guru sebagai dalang. Murid sebagai boneka. Kurikulum sebagai skenario yang kaku.
Tapi tunggu dulu. Apakah kita tidak keliru memahami esensi pendidikan?
Dalam cerita wayang, Arjuna tidak menjadi kesatria karena menghafal semua nama senjata. Ia menjadi Arjuna karena memahami makna kepahlawanan. Bima tidak sakti karena mengingat semua jurus silat. Ia perkasa karena jiwa raganya menyatu dengan nilai-nilai kebenaran.
Pendidikan kita justru terbalik. Anak-anak dipaksa menghafal rumus matematika tanpa memahami keindahan pola. Mereka menghapal tanggal sejarah tanpa merasakan spirit perjuangan. Seperti boneka yang diajari menari tanpa merasakan irama musik.
Data UNESCO 2023 mencatat, Indonesia menempati peringkat 64 dari 77 negara dalam hal kemampuan literasi dan numerasi. Bukan karena anak-anak kita bodoh. Mereka hanya dilatih menjadi boneka yang pintar menghafal, bukan manusia yang cerdas berpikir.
Sistem pendidikan kita masih terjebak dalam paradigma industrialisasi abad ke-19. Pabrik manusia. Input standar, proses seragam, output identik. Seperti pabrik roti tawar yang memproduksi ribuan potong dengan bentuk sama persis.
Ironisnya, dunia sudah berubah. Era digital menuntut kreativitas, adaptabilitas, dan kemampuan berpikir kritis. Sedangkan sekolah kita masih memproduksi lulusan dengan mental pegawai, bukan entrepreneur. Mental penghafal, bukan innovator.
Saya teringat masa kecil di kampung. Pak Guru tidak pernah menyuruh kami menghafal rumus luas lingkaran. Beliau mengajak kami mengukur ban sepeda dengan tali, menghitung berapa kali diameter lingkaran muat dalam kelilingnya. Kami menemukan sendiri angka 3,14 itu. Rasanya seperti menemukan harta karun.
Itulah pendidikan yang membebaskan. Bukan memberikan jawaban, tetapi memancing pertanyaan. Bukan menyuruh percaya, tetapi mengajak membuktikan.
John Dewey, filsuf pendidikan Amerika, pernah berkata, "We do not learn from experience, we learn from reflecting on experience." Pengalaman tanpa refleksi hanya akan menjadi memori. Refleksi tanpa pengalaman hanya akan menjadi teori kosong.
Pendidikan karakter juga demikian. Bukan soal menghafal Pancasila atau mengulang sumpah pemuda. Tetapi bagaimana nilai-nilai itu hidup dalam keseharian. Kejujuran tidak diajarkan melalui ceramah, tetapi melalui keteladanan. Kepemimpinan tidak dipelajari dari textbook, tetapi dari praktik memimpin proyek kelas.
Saya pernah mengamati sebuah sekolah di Finlandia. Anak-anak tidak duduk dalam barisan kaku. Mereka berkelompok, berdiskusi, bahkan berguling-guling di karpet sambil membaca. Guru bukan dalang yang mengendalikan boneka, tetapi fasilitator yang memandu eksplorasi.
Hasilnya? Finlandia konsisten menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia. Bukan karena murid-muridnya paling pintar menghafal, tetapi karena mereka paling mahir berpikir.
Filosofi Jawa mengajarkan konsep "ngemong, momong, momot". Ngemong artinya mengasuh dengan penuh cinta. Momong berarti mendidik dengan sabar. Momot berarti melahirkan potensi yang terpendam. Inilah esensi pendidikan yang sesungguhnya.
Sayangnya, sistem pendidikan kita lebih mirip "nganggo, mopong, mungkul". Nganggo berarti memakai seragam yang sama. Mopong berarti menghafal yang sama. Mungkul berarti menunduk patuh tanpa pertanyaan.
Akibatnya, lulusan kita pandai mengikuti perintah, tetapi bingung saat harus mengambil keputusan. Mereka mahir menjawab soal multiple choice, tetapi gagap saat menghadapi masalah nyata yang tidak ada pilihan jawabannya.
Penelitian Harvard Business Review 2022 menunjukkan, 87% CEO perusahaan global mengeluhkan lulusan universitas yang secara akademis cemerlang, tetapi lemah dalam hal kreativitas dan leadership. Mereka seperti boneka yang pintar menari, tetapi tidak bisa menciptakan tarian baru.
Pendidikan yang membebaskan harus dimulai dari perubahan mindset. Guru bukan dalang, tetapi coach. Murid bukan boneka, tetapi pemain yang aktif. Kelas bukan panggung pertunjukan, tetapi laboratorium kehidupan.
Anak-anak harus diajak berpikir, bukan disuruh menghafal. Mereka harus dilatih bertanya, bukan hanya menjawab. Mereka harus diajarkan menemukan masalah, bukan hanya menyelesaikan soal yang sudah ada.
Karakter kepemimpinan tidak bisa dibangun dengan menghafal biografi tokoh besar. Tetapi dengan memberikan kesempatan pada anak untuk memimpin project kecil-kecilan. Membiarkan mereka gagal, bangkit, dan belajar dari kesalahan.
Saya ingat kata-kata Ki Hajar Dewantara: "Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani." Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan. Ini bukan hanya filosofi mengajar, tetapi filosofi memimpin.
Pendidikan yang membebaskan akan melahirkan pemimpin yang otentik. Bukan boneka yang dikendalikan kepentingan politik atau ekonomi. Tetapi manusia yang memiliki visi, integritas, dan keberanian untuk berbeda.
Baca Juga
Namun, perubahan ini tidak bisa hanya mengandalkan guru atau sekolah. Orangtua juga harus berubah. Jangan lagi memaksa anak menjadi juara kelas dengan menghafal. Biarkan mereka menjadi juara hidup dengan berpikir.
Masyarakat juga harus berubah. Jangan lagi menilai anak dari nilai rapor atau ranking sekolah. Tapi dari karakter, kreativitas, dan kontribusinya pada lingkungan.
Sistem juga harus berubah. Evaluasi pendidikan tidak boleh hanya mengandalkan test standardized. Perlu assessment holistik yang mengukur kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan karakter.
"Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia, tetapi hanya jika senjata itu diarahkan untuk membebaskan, bukan membelenggu." — Nelson Mandela
Malam ini, saya menutup mata dan membayangkan masa depan pendidikan Indonesia. Saya melihat ruang-ruang kelas yang hidup, anak-anak yang berdiskusi dengan mata berbinar, guru-guru yang tersenyum bangga melihat muridnya berani bertanya hal-hal yang belum pernah mereka pikirkan.
Saya melihat generasi pemimpin masa depan yang tidak lagi seperti boneka. Mereka bergerak dengan kehendak sendiri, berpikir dengan kepala sendiri, dan bermimpi dengan hati sendiri.
Tapi semua itu hanya akan menjadi kenyataan jika kita berani memutus tali-tali yang telah mengubah pendidikan menjadi panggung boneka. Pertanyaannya: apakah kita siap menjadi dalang yang memberikan kebebasan, atau masih nyaman menjadi penonton yang menikmati pertunjukan boneka?
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka
Dewey, J. (1938). Experience and Education. Macmillan Company.
Harvard Business Review. (2022). The Future of Leadership Development. Harvard Business School Publishing.
Ki Hajar Dewantara. (1977). Bagian Pertama: Pendidikan. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Mandela, N. (2003). Lighting Your Way to a Better Future. Madison Park High School Speech.
UNESCO. (2023). Global Education Monitoring Report 2023: Technology in Education. UNESCO Publishing.
Yeats, W. B. (1865). The Celtic Twilight. Lawrence & Bullen.
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.