Cermin Digital

Baca Juga

"Dalam setiap alat yang kita ciptakan, terdapat cerminan jiwa kita. Teknologi tidak lebih dari perpanjangan hati manusia—jika hati kita damai, teknologi akan membawa kedamaian. Jika hati kita gelisah, teknologi akan memperbesar kegelisahan itu." (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

DUNIA ESAI "Teknologi adalah pisau bermata dua—dapat memotong buah untuk memberi makan atau melukai tangan yang memegangnya. Kebijaksanaan terletak pada cara kita menggenggamnya."

Di suatu senja yang kelabu, seorang anak perempuan berusia tujuh tahun duduk di beranda rumah kayu di pinggiran Bandung. Tangannya yang mungil menggenggam sebuah ponsel, jemarinya menari-nari di atas layar kaca. Matanya berbinar, tidak pada langit senja yang memerah, melainkan pada dunia dalam genggaman itu. Ibunya memanggil dari dapur, tapi suara itu seperti tertelan oleh cahaya biru yang memantul dari wajah sang anak.

Pemandangan ini bukan lagi asing. Di setiap sudut kota, di setiap rumah, bahkan di pelosok desa yang paling terpencil, kita menyaksikan fenomena serupa. Teknologi digital telah menjadi perpanjangan tubuh manusia, seperti yang pernah dibayangkan Marshall McLuhan dalam Understanding Media-nya pada 1964. "Media adalah perpanjangan manusia," tulisnya. Namun pertanyaan yang menggelayut kemudian: perpanjangan menuju kemana?

Dalam tradisi Jawa, ada istilah pangilon—cermin. Bukan sekadar alat untuk melihat wajah, tetapi juga untuk merefleksikan jiwa. Media sosial, dalam konteks ini, menjadi cermin digital zaman kita. Ia memantulkan tidak hanya wajah, tetapi juga obsesi, ketakutan, dan kerinduan terdalam manusia. Facebook menampilkan sosok yang ingin kita tunjukkan, Instagram memamerkan kehidupan yang kita idamkan, Twitter menjadi ruang bagi amarah atau kearifan yang terpendam.

Tapi cermin digital ini berbeda dari cermin biasa. Ia tidak hanya memantulkan—ia juga membentuk. Algoritma yang bekerja di balik layar seperti dalang wayang yang menggerakkan tokoh-tokoh dalam lakon kehidupan kita. Setiap klik, setiap scroll, setiap like menjadi data yang membentuk narasi baru tentang siapa kita, apa yang kita inginkan, bahkan apa yang seharusnya kita takuti.

José Saramago dalam novelnya Blindness pernah menggambarkan sebuah wabah kebutaan yang melanda suatu kota. "Menurut saya kita tidak buta, menurut saya kita buta tetapi bisa melihat, kita adalah orang buta yang bisa melihat tetapi tidak melihat," tulis Saramago. Mungkin inilah yang terjadi pada kita di era digital: kita melihat begitu banyak informasi, tetapi apakah kita benar-benar melihat?

Dalam sejarah, setiap revolusi komunikasi selalu membawa gejolak. Ketika Gutenberg menciptakan mesin cetak pada abad ke-15, gereja khawatir akan penyebaran ide-ide yang merusak tatanan sosial. Ketika radio dan televisi lahir, ada kekhawatiran serupa tentang pengaruhnya terhadap moralitas masyarakat. Kini, dengan kemunculan media sosial, kekhawatiran itu berulang dalam skala yang lebih besar dan kompleks.

Namun, seperti api yang bisa membakar hutan sekaligus menghangatkan rumah, teknologi digital juga membawa dualitas yang sama. Di satu sisi, kita menyaksikan bagaimana platform-platform digital menjadi ruang bagi hate speech, hoaks, dan polarisasi yang memecah belah masyarakat. Kasus seperti kampanye disinformasi dalam berbagai pemilu di dunia menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi di hadapan manipulasi digital.

Di sisi lain, teknologi yang sama juga menjadi jembatan bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Gerakan #MeToo tidak akan pernah memiliki kekuatan yang sama tanpa media sosial. Perjuangan rakyat dalam berbagai revolusi, dari Arab Spring hingga gerakan mahasiswa di berbagai belahan dunia, mendapat kekuatan dari kemampuan teknologi untuk menghubungkan dan mengorganisir massa.

Seorang filsuf Yunani kuno, Heraclitus, pernah berkata bahwa sungai yang sama tidak pernah dialiri air yang sama dua kali. Begitu pula dengan teknologi: ia terus mengalir dan berubah, dan kita yang berada di dalamnya juga turut berubah. Pertanyaannya bukan lagi apakah teknologi baik atau buruk—pertanyaannya adalah bagaimana kita menavigasi aliran itu.

Di Indonesia, fenomena ini mengambil warna tersendiri. Dengan lebih dari 170 juta pengguna internet dan penetrasi media sosial yang mencapai hampir 70 persen dari populasi, negeri ini menjadi salah satu pasar digital terbesar di dunia. Namun, bersamaan dengan pertumbuhan ini, kita juga menyaksikan berbagai fenomena yang mengkhawatirkan: dari penyebaran hoaks yang memecah belah bangsa hingga cyberbullying yang merenggut nyawa generasi muda.

Sujiwo Tejo, dalang kontemporer yang kerap merenungkan perubahan zaman, pernah mengatakan dalam salah satu pementasannya: "Teknologi itu seperti keris. Di tangan empu, ia menjadi pusaka yang membawa berkah. Di tangan preman, ia menjadi senjata yang membawa celaka." Kearifan lokal ini mungkin perlu kita renungkan dalam menghadapi revolusi digital.

Dalam tradisi pesantren, ada konsep tabayyun—klarifikasi atau verifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Prinsip ini, yang berasal dari Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 6, menjadi sangat relevan di era post-truth ini. "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."

Tapi apakah kita masih memiliki kesabaran untuk melakukan tabayyun di era ketika informasi bergerak dengan kecepatan cahaya? Apakah kita masih mampu membedakan antara informasi dan disinformasi ketika keduanya dikemas dengan tampilan yang sama menariknya?

Rumi, penyair sufi abad ke-13, pernah menulis: "Kemarin saya pandai, jadi saya ingin mengubah dunia. Hari ini saya bijak, jadi saya mengubah diri saya sendiri." Mungkin inilah yang perlu kita lakukan dalam menghadapi revolusi digital: alih-alih mengutuk atau memuji teknologi secara membabi buta, kita perlu mengubah cara kita berinteraksi dengannya.

Baca Juga

Dalam film Her karya Spike Jonze, protagonis Theodore jatuh cinta pada sistem operasi dengan kecerdasan buatan. Film itu mengajukan pertanyaan tentang batas antara realitas dan virtualitas, antara koneksi sejati dan koneksi artifisial. Dalam kehidupan nyata, kita mungkin tidak jatuh cinta pada AI, tetapi kita jatuh cinta pada likes, comments, dan validasi digital yang diberikannya.

Paradoks media sosial adalah bagaimana ia menjanjikan koneksi tetapi seringkali justru menghasilkan keterasingan. Kita terhubung dengan ratusan, bahkan ribuan orang, tetapi merasa kesepian. Kita berbagi momen-momen kehidupan, tetapi kehilangan keintiman. Kita berteriak di ruang digital, tetapi suara kita hilang dalam kebisingan algoritma.

Virginia Woolf dalam Mrs. Dalloway menulis tentang bagaimana pikiran manusia melompat dari satu kenangan ke kenangan lain, dari satu asosiasi ke asosiasi lain. Media sosial, dengan timeline yang tidak pernah berakhir, mungkin adalah manifestasi digital dari stream of consciousness itu. Kita scroll tanpa tujuan, melompat dari satu konten ke konten lain, dari satu emosi ke emosi lain.

Tetapi di balik semua kompleksitas ini, ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan: teknologi adalah ciptaan manusia, dan karenanya, masa depannya ada di tangan kita. Seperti yang ditulis oleh Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks-nya: "Saya pesimis karena kecerdasan, tetapi optimis karena kehendak."

Mungkin inilah yang kita butuhkan: kehendak untuk menggunakan teknologi dengan bijak, untuk membangun jembatan alih-alih tembok, untuk menyebarkan cahaya alih-alih kegelapan. Dalam setiap klik yang kita lakukan, dalam setiap konten yang kita bagikan, kita memiliki pilihan: apakah kita akan menjadi bagian dari masalah, ataukah bagian dari solusi?

"Dalam setiap alat yang kita ciptakan, terdapat cerminan jiwa kita. Teknologi tidak lebih dari perpanjangan hati manusia—jika hati kita damai, teknologi akan membawa kedamaian. Jika hati kita gelisah, teknologi akan memperbesar kegelisahan itu."

Di ujung senja tadi, ketika anak perempuan itu akhirnya mengangkat kepalanya dari layar ponsel, ia melihat langit yang sudah gelap. Bintang-bintang mulai bermunculan, satu per satu, seperti harapan-harapan kecil di tengah kegelapaan. Mungkin itulah yang kita perlukan: kemampuan untuk sesekali mengangkat kepala dari layar digital kita dan melihat langit yang sesungguhnya.

Teknologi atau kemanusiaan—apakah keduanya memang harus berseberangan?

Wallahu a'lam...

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.


Daftar Pustaka

Gramsci, A. (1971). Prison Notebooks. International Publishers.

McLuhan, M. (1964). Understanding Media: The Extensions of Man. McGraw-Hill.

Saramago, J. (1995). Blindness. Harcourt Brace.

Woolf, V. (1925). Mrs. Dalloway. Hogarth Press.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Entri yang Diunggulkan

Formulir Kontak

.