Etnografi Sepak Bola dan Peradaban Manusia

"Dalam sepak bola, seperti dalam hidup, yang terpenting bukanlah menang atau kalah, tetapi bagaimana permainan itu dimainkan—dengan integritas, passion, dan rasa hormat terhadap lawan." â€” PelĂ©. (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

DUNIA ESAI "Sepak bola adalah bahasa universal yang dimengerti oleh semua ras, agama, dan kebangsaan. Ia berbicara tentang kemanusiaan dalam dialek yang paling sederhana namun paling dalam." — Eduardo Galeano

Di sebuah gang sempit di pinggiran Kota Bandung, bocah-bocah bertelanjang dada mengejar bola lusuh yang sudah kehilangan warna aslinya. Mereka tak peduli bahwa "lapangan" mereka hanyalah aspal berlubang yang dibatasi tembok rumah dan tiang listrik. Gawang mereka dua buah sandal jepit yang diletakkan berjauhan. Tapi dalam mata mereka, ada cahaya yang sama dengan yang pernah menyala di Wembley atau Camp Nou—hasrat purba untuk menguasai bola bulat dan mencetak gol.

Ada sesuatu yang magis dalam lingkaran kulit itu. Sejak 5.000 tahun lalu, manusia sudah menendang objek bulat untuk kesenangan, ritual, atau pertandingan. Di Tiongkok kuno, mereka menyebutnya cuju. Di Mesoamerika, orang Maya memainkan pitz dengan bola karet yang melambangkan pergerakan matahari. Bangsa Yunani punya episkyros, dan orang Romawi mengembangkan harpastum. Setiap peradaban menciptakan versinya sendiri, tapi esensinya tetap sama: manusia, bola, dan ruang untuk bermain.

Claude Lévi-Strauss, sang antropolog strukturalis, mungkin akan melihat sepak bola sebagai "mitos yang hidup"—sebuah struktur simbolik yang menyatukan berbagai elemen bertentangan dalam masyarakat. Di lapangan hijau berbentuk persegi panjang itu, kelas sosial melebur. Anak pengusaha dan anak buruh mengejar bola yang sama, berkeringat di bawah matahari yang sama, dan merasakan euforia kemenangan atau nestapa kekalahan yang sama pula.

Tapi sepak bola juga cermin yang kejam bagi peradaban kita. Pele berkata bahwa sepak bola adalah "the beautiful game," tapi keindahan itu sering ternoda oleh politik, uang, dan kekuasaan. Di Argentina, Diego Maradona menjadi dewa sekaligus tragedi—genius yang hancur oleh kokain dan tekanan ekspektasi publik. Di Brasil, sepak bola menjadi alat untuk melupakan kemiskinan dan ketimpangan, tapi juga memproduksi mimpi palsu bahwa bakat kaki bisa mengangkat seseorang dari favela ke istana.

Etnografi sepak bola mengungkap paradoks yang menarik. Di Eropa, stadion menjadi katedral baru—tempat orang berkumpul untuk ritual kolektif yang menggantikan fungsi gereja. Supporter Liverpool menyanyikan "You'll Never Walk Alone" dengan khusyuk yang melampaui lagu hymne gereja. Di Napoli, patung Maradona dipuja seperti santo, dan pemain Argentina itu sungguh-sungguh dianggap telah memberikan "mujizat" kepada kota yang diremehkan Italia Utara.

Namun di Indonesia, sepak bola menjadi arena ekspresi identitas yang lebih kompleks. Pertandingan antara klub bukan sekadar kompetisi olahraga, tapi perang simbolik antara satu daerah dan daerah lainnya, antara metropolitan dan provinsi, suporter tidak hanya mendukung tim, tapi mempertaruhkan harga diri kolektif mereka. Kekalahan di lapangan dirasakan sebagai kekalahan eksistensial.

Clifford Geertz, dalam "The Interpretation of Cultures," menjelaskan bagaimana ritual sabung ayam di Bali mengungkap struktur sosial yang tersembunyi. Demikian pula sepak bola—ia adalah sabung ayam versi modern yang memperlihatkan hiruk-pikuk kekuasaan, prestise, dan identitas. Ketika Indonesia melawan Malaysia dalam sepak bola, yang dipertaruhkan bukan hanya poin FIFA, tapi juga narasi tentang siapa yang lebih "macho" di Asia Tenggara.

Di balik gemerlap industri sepak bola global, ada kisah-kisah yang lebih kelam. Sepp Blatter dan korupsi FIFA mengungkap bagaimana institusi yang seharusnya menjaga "beautiful game" justru memperalat sepak bola untuk kepentingan elit. Piala Dunia Qatar 2022 dibangun dengan keringat dan darah pekerja migran yang mati dalam kondisi kerja yang tidak manusiawi. Stadion megah itu adalah monumen bagi hubris modernitas yang mengorbankan nyawa untuk hiburan.

Victor Turner menulis tentang "communitas"—momen ketika hierarki sosial sementara lenyap dan manusia merasakan solidaritas primordial. Ini terjadi ketika Indonesia memenangkan medemas sepak bola SEA Games, atau ketika Leicester City menjuarai Premier League. Untuk sesaat, perbedaan kelas, agama, dan etnis menjadi tidak penting. Semua orang adalah supporter yang sama, merayakan kemenangan kolektif dengan tangis bahagia.

Tapi "communitas" itu rapuh dan sementara. Begitu peluit wasit berakhir, realitas sosial kembali menyeruak. Para pemain kembali ke gaji jutaan dollar atau rupiah pas-pasan. Supporter kembali ke kehidupan sehari-hari dengan segala kesenjangan dan frustrasinya. Yang tersisa hanyalah memori kolektif yang akan diceritakan turun-temurun, seperti dongeng tentang zaman keemasan yang pernah ada.

Roberto Baggio pernah berkata, "Sepak bola adalah permainan yang dimainkan oleh 22 orang dan dimenangkan oleh Jerman." Lelucon itu mengungkap sesuatu yang lebih dalam: sepak bola adalah cermin bagi mentalitas dan karakter bangsa. Jerman menang karena disiplin dan efisiensi. Brasil unggul karena kreativitas dan improvisasi. Italia kuat karena taktik dan ketangguhan mental. Indonesia... mungkin masih mencari identitas sepak bolanya sendiri.

Di tengah globalisasi yang meratakan perbedaan budaya, sepak bola justru menjadi salah satu ruang terakhir di mana identitas lokal masih bisa diekspresikan. Tiki-taka Barcelona mencerminkan kesabaran dan kecerdasan Catalan. Catenaccio Inter Milan merepresentasikan pragmatisme Italia Utara. Samba Brasil menampilkan kegembiraan dan spontanitas Amerika Latin. Setiap gaya bermain adalah dialek dalam bahasa universal sepak bola.

Namun di era VAR dan teknologi digital, apakah sepak bola masih bisa mempertahankan humanitasnya? Ketika setiap sentuhan bola bisa dianalisis dengan statistik, ketika setiap gerakan pemain dipantau GPS, dan ketika kamera slow-motion bisa menangkap handball yang tak terlihat mata telanjang, apakah masih ada ruang untuk magic dan misteri yang membuat sepak bola menjadi "beautiful game"?

Huizinga menulis tentang "homo ludens"—manusia sebagai makhluk yang bermain. Sepak bola adalah manifestasi paling sempurna dari sifat dasar ini. Ia mengajarkan kita tentang aturan dan kebebasan, kompetisi dan kerjasama, individualitas dan solidaritas. Ia adalah sekolah kehidupan yang diajarkan dengan cara yang paling menyenangkan.

Di gang-gang sempit perkotaan Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, atau daerah lainnya, bocah-bocah itu masih terus menendang bola lusuh mereka. Mereka tidak tahu bahwa mereka sedang melanjutkan tradisi yang sudah berlangsung ribuan tahun, atau bahwa mereka sedang belajar tentang nilai-nilai yang akan membentuk karakter mereka kelak. Yang mereka tahu hanyalah bahwa ada kegembiraan sederhana dalam mengejar bola bulat itu, dan bahwa dalam permainan ini, semua orang bisa menjadi pahlawan, setidaknya untuk 90 menit.

"Dalam sepak bola, seperti dalam hidup, yang terpenting bukanlah menang atau kalah, tetapi bagaimana permainan itu dimainkan—dengan integritas, passion, dan rasa hormat terhadap lawan." — Pelé

Mungkin di situlah terletak jawaban mengapa sepak bola tetap memikat peradaban manusia: karena ia adalah permainan yang paling mirip dengan kehidupan itu sendiri—penuh dengan kejutan, ketidakadilan, keajaiban, dan pada akhirnya, tentang bagaimana kita bangkit setelah jatuh.

Wallahu a'lam...


Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.


Daftar Pustaka

Galeano, E. (1995). Soccer in Sun and Shadow. Verso Books.

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.

Huizinga, J. (1944). Homo Ludens: A Study of the Play Element in Culture. Routledge & Kegan Paul.

Lévi-Strauss, C. (1963). Structural Anthropology. Basic Books.

Pelé. (2006). My Life and the Beautiful Game: The Autobiography of Soccer's Greatest Star. Skyhorse Publishing.

Turner, V. (1969). The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Aldine Publishing.

Vialli, G., & Vialli, G. (2000). The Italian Job: A Journey to the Heart of Two Great Footballing Cultures. Bantam.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Entri yang Diunggulkan

Tubuh Sejahtera, Jiwa Bahagia

Formulir Kontak

Pro Blogger Templates