Baca Juga
"Bumi tidak membutuhkan kita untuk diselamatkan. Kita yang membutuhkan bumi untuk tetap hidup. Yang kita selamatkan, pada akhirnya, adalah diri kita sendiri." — Wendell Berry (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
DUNIA ESAI - "Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, tetapi meminjamnya dari anak cucu kita." — Pepatah Suku Indian Amerika
Pagi itu, di sebuah pantai di pesisir utara Jawa, seorang anak berusia tujuh belas tahun berjongkok di antara sampah plastik yang berserakan. Tangannya bergerak lincah memilah botol-botol bekas, kantong kresek robek, dan sedotan warna-warni yang entah datang dari mana. Matanya tidak menunjukkan jijik atau putus asa, melainkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah tekad yang aneh untuk usianya. Ia bercerita kepada siapa saja yang mau mendengar bahwa laut ini dulunya jernih, ikan-ikan berenang bebas tanpa harus menghindar dari bungkus permen atau tutup botol yang mengambang. Ceritanya bukan nostalgia, tetapi sebuah undangan untuk membayangkan kemungkinan yang lain.
Di tempat lain, ribuan kilometer dari pantai itu, seorang mahasiswi di Sumatra sedang mendokumentasikan spesies kupu-kupu yang hampir punah akibat deforestasi. Kameranya menangkap warna-warna yang mungkin tidak akan pernah dilihat generasi mendatang—biru metalik sayap Parides, hijau zamrud Ornithoptera, merah darah Heliconius yang berkilau di bawah sinar matahari sore. Setiap klik shutter adalah perlawanan terhadap kelupaan, setiap foto adalah arsip untuk masa depan yang mungkin tidak akan pernah melihat keindahan ini secara langsung.
Keduanya tidak saling mengenal, mungkin tidak akan pernah bertemu, namun keduanya terikat oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebetulan geografis atau generasional. Mereka adalah bagian dari sebuah gerakan yang tidak memiliki manifesto resmi, tidak memiliki markas besar, tetapi memiliki sesuatu yang lebih kuat: sebuah kesadaran bahwa jejak yang mereka tinggalkan hari ini akan menentukan dunia seperti apa yang akan diwarisi generasi selanjutnya.
Rachel Carson, dalam bukunya yang mengubah cara dunia memandang lingkungan, pernah menulis bahwa alam bukanlah sesuatu yang terpisah dari manusia, tetapi bagian integral dari eksistensi kita. Pemuda Indonesia hari ini seperti sedang menginternalisasi pemahaman Carson ini dengan cara yang unik. Mereka tidak melihat lingkungan sebagai objek yang harus diselamatkan dari jarak jauh, tetapi sebagai rumah yang mereka huni setiap hari, yang kerusakannya akan mereka rasakan secara langsung.
Namun, ada yang berbeda dari cara mereka mendekati isu lingkungan dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Jika aktivis lingkungan generasi terdahulu cenderung bergerak melalui protes dan kampanye besar-besaran, generasi muda hari ini lebih memilih pendekatan yang lebih personal dan praktis. Mereka memulai dari diri mereka sendiri, dari lingkaran terdekat mereka, dari hal-hal kecil yang bisa mereka kontrolikan.
Perhatikan bagaimana mereka mengubah kebiasaan sehari-hari. Mengganti kantong plastik dengan tas kain, membawa botol minum sendiri, memilah sampah di rumah, menanam tanaman di pot-pot kecil di balkon apartemen. Tindakan-tindakan ini mungkin tampak sepele jika dilihat secara individual, tetapi ketika dikalikan dengan jutaan pemuda yang melakukan hal serupa, dampaknya menjadi signifikan. Mereka menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "revolusi sehari-hari"—perubahan yang tidak dramatis namun berkelanjutan.
Menarik untuk merenungkan bagaimana cara mereka menggunakan teknologi untuk tujuan lingkungan. Aplikasi untuk menghitung jejak karbon, platform untuk berbagi informasi tentang produk ramah lingkungan, media sosial untuk menyebarkan kesadaran tentang isu-isu ekologi. Mereka tidak anti-teknologi, tetapi mereka menggunakan teknologi sebagai alat untuk menciptakan hubungan yang lebih harmonis dengan alam. Dalam konteks ini, teknologi bukan lawan dari alam, tetapi mediator yang memungkinkan manusia untuk lebih memahami dan merawat lingkungannya.
Aldo Leopold dalam etika tanahnya pernah mengusulkan perluasan komunitas moral untuk mencakup tanah, air, tumbuhan, dan hewan—secara kolektif disebut sebagai tanah. Konsep ini, yang pada masanya dianggap radikal, kini mulai diterima secara luas oleh generasi muda Indonesia. Mereka tidak lagi melihat alam sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi tanpa batas, tetapi sebagai komunitas yang lebih besar dimana manusia hanya salah satu anggotanya.
Pendekatan ini tercermin dalam cara mereka memilih makanan, produk konsumsi, bahkan career path mereka. Banyak yang memilih bekerja di perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen lingkungan, atau bahkan memulai bisnis sendiri yang berbasis pada prinsip-prinsip keberlanjutan. Mereka tidak memisahkan antara kehidupan pribadi dan komitmen lingkungan—keduanya terintegrasi dalam satu kesatuan yang koheren.
Namun, gerakan ini juga menghadapi tantangan yang tidak mudah. Sistem ekonomi yang masih berbasis pada pertumbuhan tak terbatas, politik yang sering mengabaikan isu jangka panjang demi kepentingan sesaat, budaya konsumerisme yang terus dipromosikan oleh industri dan media. Pemuda yang peduli lingkungan seringkali merasa seperti berenang melawan arus, mencoba mengubah sistem yang jauh lebih besar dan kuat dari mereka.
Di sinilah muncul pertanyaan yang lebih fundamental: apakah usaha-usaha individual ini cukup untuk menghadapi krisis lingkungan yang sifatnya global dan sistemik? Apakah menggunakan sedotan bambu atau mengurangi konsumsi daging bisa mengatasi perubahan iklim yang disebabkan oleh industri fosil raksasa? Apakah kesadaran personal bisa mengimbangi kebijakan-kebijakan yang masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi di atas kelestarian lingkungan?
Baca Juga
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab, dan mungkin memang tidak ada jawaban yang sederhana. Namun, mungkin yang penting bukanlah mencari jawaban yang pasti, melainkan terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Sebab, dalam ketidakpastian inilah ruang untuk kemungkinan-kemungkinan baru terbuka.
Yang menarik dari fenomena ini adalah bagaimana pemuda Indonesia berhasil menghindari jebakan nihilisme maupun optimisme yang naif. Mereka sadar bahwa masalah lingkungan sangat kompleks dan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, namun mereka juga tidak menyerah pada pesimisme. Mereka memilih untuk bertindak dalam lingkup yang bisa mereka pengaruhi, sambil terus berusaha memperluas lingkup pengaruh tersebut.
Strategi ini mengingkatkan pada konsep "thinking globally, acting locally" yang dipopulerkan oleh gerakan lingkungan internasional. Namun, pemuda Indonesia menambahkan dimensi baru pada konsep ini: mereka tidak hanya berpikir global dan bertindak lokal, tetapi juga berpikir jangka panjang dan bertindak konsisten. Mereka memiliki perspektif intergenerational yang kuat—kesadaran bahwa tindakan mereka hari ini akan berdampak pada dunia yang akan diwarisi oleh anak cucu mereka.
Perspektif ini mungkin lahir dari kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kenaikan muka air laut, perubahan pola curah hujan, intensifikasi bencana alam—semua ini bukan lagi ancaman di masa depan yang jauh, tetapi realitas yang sudah mulai dirasakan hari ini. Pemuda Indonesia melihat langsung bagaimana kampung halaman mereka terancam tenggelam, bagaimana musim tanam menjadi tidak menentu, bagaimana spesies-spesies yang familiar sejak kecil mulai menghilang.
Pengalaman langsung ini menciptakan jenis kesadaran lingkungan yang berbeda—bukan kesadaran yang abstrak atau teoretis, tetapi kesadaran yang visceral dan emosional. Mereka tidak belajar tentang perubahan iklim dari textbook atau dokumenter, tetapi dari perubahan yang mereka saksikan di lingkungan sekitar mereka. Hal ini membuat komitmen mereka terhadap lingkungan bukan sekadar pilihan ideologis, tetapi kebutuhan eksistensial.
Dalam konteks ini, tindakan-tindakan kecil yang mereka lakukan tidak bisa dilihat hanya sebagai gesture simbolis, tetapi sebagai bentuk resistensi terhadap sistem yang merusak. Setiap kali mereka menolak menggunakan kantong plastik, mereka sedang menolak ekonomi throwaway. Setiap kali mereka memilih produk lokal, mereka sedang menolak sistem distribusi yang boros energi. Setiap kali mereka menanam pohon atau merawat tanaman, mereka sedang menciptakan alternatif terhadap lanskap urban yang gersang.
Vandana Shiva, aktivis lingkungan dari India, pernah menulis bahwa resistensi yang paling efektif bukanlah yang paling keras suaranya, tetapi yang paling konsisten tindakannya. Pemuda Indonesia yang peduli lingkungan seperti mengimplementasikan filosofi Shiva ini. Mereka tidak banyak berteriak di media sosial atau berdemonstrasi di jalanan, tetapi mereka konsisten menjalani gaya hidup yang selaras dengan nilai-nilai lingkungan yang mereka anut.
Konsistensi ini juga tercermin dalam cara mereka memandang hubungan antara individual dan kolektif. Mereka sadar bahwa perubahan personal tanpa perubahan struktural tidak akan cukup, tetapi mereka juga yakin bahwa perubahan struktural harus dimulai dari perubahan personal. Mereka tidak menunggu pemerintah atau korporasi mengambil inisiatif, tetapi mereka juga tidak berhenti pada tindakan individual. Mereka berusaha menciptakan jaringan-jaringan kecil yang bisa memperkuat dan memperluas dampak tindakan mereka.
Jaringan-jaringan ini bisa berupa komunitas urban farming, kelompok pengurangan sampah, kolektif yang mempromosikan produk ramah lingkungan, atau sekadar circle pertemanan yang memiliki komitmen serupa terhadap isu lingkungan. Melalui jaringan-jaringan ini, tindakan individual bertransformasi menjadi gerakan kolektif, meski tanpa struktur organisasi yang formal.
Mungkin inilah bentuk baru dari aktivisme lingkungan—aktivisme yang tidak terpusat, tidak hierarkis, tetapi tersebar dan adaptif. Aktivisme yang tidak bergantung pada figur pemimpin atau ideologi yang kaku, tetapi pada komitmen bersama dan tindakan konsisten. Aktivisme yang tidak berteriak tentang perubahan, tetapi menciptakan perubahan dalam keheningan.
Namun, ada juga risiko dalam pendekatan ini. Fokus pada tindakan individual bisa mengalihkan perhatian dari perlunya perubahan kebijakan yang lebih fundamental. Penekanan pada tanggung jawab personal bisa dimanfaatkan oleh korporasi dan pemerintah untuk menghindari tanggung jawab mereka terhadap kerusakan lingkungan. Gerakan yang tersebar dan tidak terpusat bisa kehilangan daya tekan politiknya.
Kritik-kritik ini valid dan perlu dipertimbangkan. Namun, mungkin yang diperlukan bukanlah memilih antara aktivisme personal atau struktural, antara tindakan individual atau kolektif, antara perubahan lifestyle atau perubahan kebijakan. Yang diperlukan adalah sintesis yang kreatif dari berbagai pendekatan ini—pendekatan yang mengakui kompleksitas masalah lingkungan dan meresponsnya dengan strategi yang multidimensional.
"Bumi tidak membutuhkan kita untuk diselamatkan. Kita yang membutuhkan bumi untuk tetap hidup. Yang kita selamatkan, pada akhirnya, adalah diri kita sendiri." — Wendell Berry
Di sebuah taman kota yang kecil, di antara hiruk-pikuk Jakarta yang tidak pernah tidur, sekelompok anak muda sedang menanam bibit pohon dalam pot-pot daur ulang. Gerakan mereka tidak terburu-buru, seolah mereka memiliki semua waktu di dunia. Padahal mereka tahu waktu semakin menipis—untuk laut, untuk hutan, untuk udara yang bersih, untuk masa depan yang masih bisa dihuni. Namun, dalam ketenangan mereka, ada sesuatu yang paradoks: urgency yang patient, kepanikan yang penuh harapan.
Mungkin inilah yang mereka pahami dengan cara yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata: bahwa jejak yang paling bermakna bukanlah yang paling besar atau paling terlihat, tetapi yang paling dalam dan paling tahan lama. Bahwa perubahan yang sesungguhnya tidak terjadi dalam sekejap mata, tetapi dalam akumulasi momen-momen kecil yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Bahwa masa depan tidak diciptakan oleh mereka yang berteriak paling keras tentang perubahan, tetapi oleh mereka yang paling konsisten menjalani perubahan itu sendiri.
Jejak-jejak ini mungkin tidak akan tercatat dalam sejarah besar lingkungan hidup Indonesia. Tidak akan ada monument atau museum yang mendokumentasikan setiap botol yang tidak dibuang ke laut, setiap pohon yang ditanam di halaman rumah, setiap keputusan untuk berjalan kaki alih-alih menggunakan kendaraan bermotor. Namun, jejak-jejak kecil ini mungkin akan menentukan apakah anak cucu mereka masih bisa melihat kupu-kupu berwarna-warni di hutan Sumatra, masih bisa berenang di laut yang jernih di pesisir Jawa, masih bisa menghirup udara yang segar di kota-kota besar Indonesia.
Atau mungkin pertanyaannya bukan apakah jejak-jejak ini akan cukup untuk menyelamatkan bumi, tetapi apakah kita cukup bijak untuk mengikuti jejak yang sudah mereka mulai?
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka
Berry, W. (1977). The Unsettling of America: Culture and Agriculture. Sierra Club Books.
Carson, R. (1962). Silent Spring. Houghton Mifflin Company.
Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac. Oxford University Press.
Shiva, V. (1988). Staying Alive: Women, Ecology and Development. Zed Books.
Native American Proverb. (n.d.). Traditional wisdom of Indigenous peoples of North America.
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.