Jejak Hijau

"Jejak terdalam bukanlah yang tercetak di tanah, melainkan yang terukir di hati. Dan warna terhijau bukanlah yang terlihat di mata, melainkan yang tumbuh di jiwa." (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

DUNIA ESAI "Setiap tetes air yang kita hemat hari ini adalah warisan yang kita tinggalkan untuk cucu kita esok. Setiap biji yang kita tanam adalah doa yang kita kirimkan untuk masa depan yang belum kita lihat."

Ada cerita tentang seorang kakek di sebuah desa di Jawa Tengah yang setiap pagi menyiram tanaman dengan air bekas cucian beras. Tetangganya sering menertawakan kebiasaan yang dianggap kuno itu. 

"Pak, zaman sekarang air bersih melimpah, mengapa masih repot-repot menampung air cucian?" tanya seorang pemuda. Sang kakek tersenyum, matanya menatap jauh ke cakrawala sawah yang menghijau. 

"Nak, bumi ini pinjaman dari anak cucu kita. Setiap tetes yang kita sia-siakan hari ini adalah utang yang harus mereka bayar besok." Bertahun-tahun kemudian, ketika krisis air melanda desa tersebut, sumur sang kakek masih mengalir jernih, sementara sumur-sumur lain mulai mengering. Kebijaksanaan sederhana itu ternyata menyimpan filosofi yang mendalam tentang keberlangsungan hidup.

Jejak, dalam makna harfiahnya, adalah bekas tapak kaki yang tertinggal di tanah setelah seseorang berlalu. Namun jejak juga bermakna lebih luas—ia adalah tanda kehadiran, bukti eksistensi, dan warisan yang ditinggalkan. 

Hijau, di sisi lain, bukan sekadar warna dalam spektrum cahaya. Ia adalah simbol kehidupan, kesuburan, dan keseimbangan alam. Ketika kedua kata ini berpadu menjadi "jejak hijau", terbentuklah metafora yang kuat tentang bagaimana setiap tindakan kita hari ini akan meninggalkan bekas pada lingkungan dan kehidupan generasi mendatang.

Dalam konteks gaya hidup berkelanjutan, jejak hijau menjadi konsep yang tidak bisa diabaikan. Setiap pilihan konsumsi, setiap keputusan dalam keseharian, setiap kebiasaan kecil yang kita lakukan, semuanya meninggalkan jejak pada planet ini. 

Yang menarik adalah bahwa jejak ini tidak selalu terlihat secara kasat mata. Seperti yang dikatakan Antoine de Saint-Exupéry dalam Le Petit Prince, "Yang esensial tidak terlihat oleh mata." Jejak karbon dari secangkir kopi yang kita minum di pagi hari, jejak air dari sehelai baju yang kita kenakan, jejak energi dari satu jam kita menonton streaming video—semuanya adalah bagian dari jejak hijau yang kita tinggalkan.

Data dari Global Footprint Network menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jejak ekologis sebesar 1,6 hektare global per kapita, sementara biokapasitas negara kita adalah 1,6 hektare global per kapita. Angka yang seimbang ini mungkin tampak melegakan, namun jika kita lihat lebih dalam, distribusi jejak ekologis antar wilayah dan antar kelas sosial sangat timpang. Masyarakat perkotaan dengan gaya hidup konsumtif memiliki jejak ekologis yang jauh lebih besar dibanding masyarakat pedesaan yang masih menjalankan kehidupan tradisional.

Aldo Leopold dalam A Sand County Almanac pernah menulis tentang "land ethic"—etika yang menempatkan manusia sebagai bagian dari komunitas biotik, bukan penguasanya. "A thing is right when it tends to preserve the integrity, stability, and beauty of the biotic community," tulisnya. Konsep ini sangat relevan dengan gagasan gaya hidup berkelanjutan yang dimulai dari diri sendiri. Kita tidak bisa lagi melihat diri kita sebagai entitas yang terpisah dari alam, melainkan sebagai bagian integral dari sistem yang lebih besar.

Namun tantangan terbesar dalam menerapkan gaya hidup berkelanjutan bukanlah pada aspek teknis, melainkan pada perubahan mindset. Kita hidup dalam era yang didominasi oleh budaya konsumerisme, di mana kebahagiaan sering diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, bukan seberapa bermakna yang kita berikan. 

Baudrillard dalam teorinya tentang simulacra menggambarkan bagaimana kita hidup dalam dunia tanda-tanda yang telah kehilangan rujukan pada realitas. Barang-barang yang kita konsumsi bukan lagi karena nilai gunanya, melainkan karena nilai simboliknya.

Di Indonesia, fenomena ini terlihat jelas dalam tren fast fashion yang melanda generasi muda. Survei yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia pada 2023 menunjukkan bahwa rata-rata remaja perkotaan membeli 12 potong pakaian baru setiap tahunnya, namun hanya menggunakan 60% dari pakaian yang mereka miliki. Sisanya tergantung di lemari sebagai "koleksi" yang jarang terpakai. Ironi ini mencerminkan bagaimana kita telah terperangkap dalam siklus konsumsi yang tidak berkelanjutan.

Lao Tzu dalam Tao Te Ching mengajarkan tentang konsep wu wei—tindakan tanpa paksaan, hidup yang selaras dengan ritme alam. "Nature does not hurry, yet everything is accomplished," katanya. Kebijaksanaan Taoisme ini menawarkan perspektif yang berbeda tentang produktivitas dan kemajuan. Gaya hidup berkelanjutan mengajarkan kita untuk melambat, untuk lebih mindful dalam setiap tindakan, untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan yang kita buat.

Konsep "mulai dari diri" dalam konteks keberlanjutan memiliki dimensi yang kompleks. Ia bukan sekadar tentang mengganti kantong plastik dengan tas kain atau mematikan lampu ketika tidak digunakan. Lebih dari itu, ia adalah tentang transformasi kesadaran—dari yang antroposentris menjadi ekosentris, dari yang individualistis menjadi komunalistis, dari yang jangka pendek menjadi jangka panjang.

Vandana Shiva, aktivis lingkungan dan filsuf dari India, dalam bukunya Staying Alive menulis tentang bagaimana kebijaksanaan tradisional perempuan dalam mengelola sumber daya alam dapat menjadi model untuk pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, kita dapat melihat contoh serupa dalam tradisi Subak di Bali atau sistem Sasi di Maluku—praktik-praktik kearifan lokal yang telah menjaga keseimbangan ekosistem selama berabad-abad.

Namun modernisasi dan globalisasi telah mengikis banyak dari kearifan tradisional ini. Generasi muda Indonesia, terutama yang hidup di perkotaan, semakin terputus dari tradisi dan pengetahuan lokal tentang kehidupan berkelanjutan. Mereka lebih familiar dengan brand-brand global daripada tanaman lokal, lebih mengenal influencer media sosial daripada petani di daerah mereka sendiri.

Di sinilah letak pentingnya pendidikan tentang gaya hidup berkelanjutan. Bukan sekadar transfer pengetahuan teknis tentang cara mendaur ulang atau menghemat energi, melainkan pembentukan karakter dan kesadaran ekologis yang mendalam. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan pentingnya pendidikan yang tidak hanya mengisi pikiran, tetapi juga membangkitkan kesadaran kritis.

Gerakan zero waste yang mulai populer di kalangan anak muda Indonesia adalah contoh menarik dari bagaimana perubahan dimulai dari tingkat individual. Bea Johnson, pelopor gerakan ini, membuktikan bahwa sebuah keluarga dapat mengurangi sampah tahunan mereka hingga hanya sebesar satu stoples kecil. Prinsip 5R—Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, Rot—yang ia populerkan menjadi panduan praktis untuk hidup berkelanjutan.

Namun kita juga harus waspada terhadap fenomena greenwashing—praktik perusahaan atau individu yang membuat klaim ramah lingkungan untuk tujuan marketing tanpa perubahan substansial dalam praktik mereka. Seperti yang diingatkan oleh Naomi Klein dalam This Changes Everything, perubahan iklim tidak dapat diatasi hanya dengan solusi teknologi atau perubahan gaya hidup individual, melainkan memerlukan transformasi sistem ekonomi dan politik yang fundamental.

Dalam konteks Indonesia, "berdampak untuk negeri" dalam gaya hidup berkelanjutan memiliki makna yang sangat konkret. Negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia ini menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim. Kenaikan permukaan laut mengancam ribuan pulau kecil, deforestasi terus terjadi untuk pembukaan lahan sawit dan tambang, sementara polusi udara di kota-kota besar sudah mencapai tingkat yang membahayakan kesehatan.

Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 64 juta ton sampah per tahun, dan hanya 69% yang terkelola dengan baik. Sisanya berakhir di tempat pembuangan liar, sungai, atau laut. Jika setiap individu mengurangi produksi sampahnya sebesar 10%, dampaknya akan sangat signifikan bagi lingkungan nasional.

Namun dampak individual terhadap negeri tidak hanya terukur dalam angka-angka statistik. Ada dimensi kultural dan spiritual yang tidak kalah penting. Ketika seseorang mulai menjalani gaya hidup berkelanjutan, ia juga menjadi agen perubahan di komunitasnya. Seperti yang dijelaskan dalam teori difusi inovasi oleh Everett Rogers, perubahan sosial dimulai dari early adopters yang kemudian mempengaruhi mayoritas masyarakat.

Rumi, penyair sufi abad ke-13, pernah menulis, "Let yourself be silently drawn by the strange pull of what you really love. It will not lead you astray." Dalam konteks gaya hidup berkelanjutan, "strange pull" ini bisa diartikan sebagai panggilan nurani untuk hidup selaras dengan alam. Ketika seseorang mulai merasakan kedamaian dari hidup sederhana, kebahagiaan dari berbagi, dan kepuasan dari memberikan kontribusi positif pada lingkungan, ia akan secara alami menarik orang lain untuk mengikuti jejak yang sama.

Jejak hijau yang kita tinggalkan hari ini akan menjadi warisan untuk generasi mendatang. Bukan hanya dalam bentuk fisik berupa lingkungan yang terjaga, tetapi juga dalam bentuk nilai-nilai dan kesadaran yang tertanam. Setiap keputusan kecil untuk memilih produk lokal daripada impor, setiap upaya untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, setiap inisiatif untuk menanam pohon atau berkebun, semuanya adalah investasi untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

"Jejak terdalam bukanlah yang tercetak di tanah, melainkan yang terukir di hati. Dan warna terhijau bukanlah yang terlihat di mata, melainkan yang tumbuh di jiwa."

Wallahu a'lam...

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.


Daftar Pustaka

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. University of Michigan Press.

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023. Jakarta: BPS.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum International Publishing Group.

Global Footprint Network. (2023). National Footprint and Biocapacity Accounts 2023. Oakland: GFN.

Greenpeace Indonesia. (2023). Survei Perilaku Konsumsi Fashion Generasi Muda Indonesia. Jakarta: Greenpeace.

Johnson, B. (2013). Zero Waste Home: The Ultimate Guide to Simplifying Your Life. Scribner.

Klein, N. (2014). This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate. Simon & Schuster.

Lao Tzu. (1997). Tao Te Ching. (S. Mitchell, Trans.). Harper Perennial.

Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac. Oxford University Press.

Rogers, E. M. (2003). Diffusion of Innovations (5th ed.). Free Press.

Rumi, J. (2004). The Essential Rumi. (C. Barks, Trans.). HarperOne.

Saint-Exupéry, A. de. (1943). Le Petit Prince. Reynal & Hitchcock.

Shiva, V. (1988). Staying Alive: Women, Ecology and Development. Zed Books.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Entri yang Diunggulkan

Tubuh Sejahtera, Jiwa Bahagia

Formulir Kontak

Pro Blogger Templates