Baca Juga
"Bisnis terbaik adalah yang mampu tumbuh dengan menumbuhkan orang lain, berkembang dengan mengembangkan lingkungan, dan berhasil dengan mensukseskan misi kemanusiaan." (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
DUNIA ESAI - "Bisnis sejati bukanlah tentang menumpuk keuntungan, melainkan tentang menabur kebaikan yang akan dipanen generasi mendatang."
Di sebuah warung kopi pinggir jalan, seorang pedagang tua menyeduh kopi dengan ritual yang hampir sakral. Setiap pagi, ia memberi secangkir gratis kepada tukang becak yang melintas. Bukan karena ia kaya, tetapi karena ia memahami bahwa bisnis yang bertahan adalah bisnis yang memberi kehangatan, bukan hanya keuntungan. Dalam kesederhanaan itu, tersimpan benih dari apa yang kini kita sebut social entrepreneurship—sebuah konsep yang menggabungkan jiwa bisnis dengan nurani sosial.
Kewirahusaan sosial, atau social entrepreneurship, sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Ia telah ada sejak manusia pertama memutuskan bahwa perdagangan bukan sekadar urusan untung-rugi, melainkan juga tentang membangun peradaban. Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006, pernah berkata bahwa bisnis seharusnya menjadi kekuatan untuk menyelesaikan masalah dunia, bukan menciptakannya. Dalam pandangannya, business is not just about making money, but about making a difference.
Namun, apa sesungguhnya yang membedakan kewirahusaan sosial dengan bisnis konvensional? Jika bisnis tradisional mengukur kesuksesan dari bottom line, maka kewirahusaan sosial mengukurnya dari triple bottom line: profit, people, dan planet. Ia tidak hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. Seperti yang dikatakan oleh Bill Drayton, pendiri Ashoka, "Social entrepreneurs are not content just to give a fish or teach how to fish. They will not rest until they have revolutionized the fishing industry."
Di Indonesia, fenomena ini mulai menggeliat sejak reformasi 1998. Krisis ekonomi yang menghantam justru melahirkan generasi wirausahawan yang tidak hanya berpikir tentang survive, tetapi juga tentang bagaimana membantu sesama bertahan hidup. Mereka adalah generasi yang lahir dari kepedihan, tetapi memilih menabur harapan ketimbang menabur dendam.
Tri Mumpuni, dengan IBEKA-nya, membuktikan bahwa energi terbarukan bukan hanya mimpi para idealis. Ia membawa listrik ke pelosok Nusantara dengan pendekatan yang melibatkan masyarakat lokal, menciptakan kemandirian sekaligus kemakmuran. Atau Helianti Hilman dengan Javara, yang mengangkat petani lokal melalui ekspor komoditas organik. Mereka tidak sekadar berbisnis, mereka membangun ekosistem keberdayaan.
Namun, di balik romantisme cerita-cerita inspiratif itu, kewirahusaan sosial menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Bagaimana menyeimbangkan misi sosial dengan kebutuhan finansial? Bagaimana mengukur dampak sosial yang seringkali bersifat intangible? Dan yang paling pelik, bagaimana mempertahankan idealisme ketika tekanan pasar menuntut pragmatisme?
C.K. Prahalad, dalam bukunya The Fortune at the Bottom of the Pyramid, menawarkan perspektif yang menarik. Ia melihat kemiskinan bukan sebagai beban, melainkan sebagai pasar yang belum terjamah. The poor are not a burden, but an opportunity. Pandangan ini mengubah paradigma kewirahusaan sosial dari charity-based menjadi market-based, dari pemberian cuma-cuma menjadi pemberdayaan yang berkelanjutan.
Revolusi digital telah membuka jalan baru bagi kewirahusaan sosial. Platform seperti Kitabisa, Teman Bumil, atau Ruangguru membuktikan bahwa teknologi dapat menjadi katalis perubahan sosial. Mereka tidak hanya memanfaatkan teknologi untuk efisiensi bisnis, tetapi juga untuk memperluas jangkauan dampak sosial. Dalam era ini, startup bukan lagi sekadar tentang IPO atau unicorn, tetapi juga tentang bagaimana menciptakan impact at scale.
Namun, apakah semua bisnis yang mengklaim sosial benar-benar sosial? Atau apakah "sosial" hanya menjadi label untuk menarik perhatian investor dan konsumen yang kini semakin socially conscious? Pertanyaan ini penting, karena social washing dapat merusak kredibilitas gerakan kewirahusaan sosial secara keseluruhan.
Dalam konteks Indonesia, kewirahusaan sosial menghadapi tantangan unik. Budaya gotong royong yang mengakar kuat seharusnya menjadi tanah subur bagi tumbuhnya bisnis-bisnis sosial. Namun, di sisi lain, ekspektasi masyarakat terhadap bantuan cuma-cuma seringkali bertabrakan dengan prinsip sustainability yang menjadi fondasi kewirahusaan sosial. Bagaimana menciptakan model bisnis yang menguntungkan sekaligus dapat diterima oleh masyarakat yang terbiasa dengan pola pikir charity?
Jawaban mungkin terletak pada pemahaman yang lebih dalam tentang makna kewirahusaan itu sendiri. Peter Drucker pernah mengatakan bahwa entrepreneurship bukanlah sifat, melainkan perilaku. Ia bukan tentang siapa Anda, tetapi tentang apa yang Anda lakukan. Kewirahusaan, dalam esensinya, adalah tentang melihat peluang di mana orang lain melihat masalah, tentang menciptakan nilai di mana orang lain melihat kehampaan.
Dalam konteks sosial, kewirahusaan menjadi lebih kompleks karena "nilai" yang diciptakan tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga sosial dan lingkungan. Ia memerlukan kepekaan yang lebih tinggi, kesabaran yang lebih besar, dan komitmen yang lebih dalam. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad Yunus, "Poverty is not created by poor people. It is created by the system we have built." Mengubah sistem memerlukan waktu, dan kewirahusaan sosial adalah tentang bermain dalam jangka panjang.
Generasi milenial dan Gen Z Indonesia menunjukkan tren yang menarik. Mereka tidak lagi melihat pekerjaan sekadar sebagai sumber penghasilan, tetapi juga sebagai sarana untuk memberikan makna hidup. Survei Deloitte 2023 menunjukkan bahwa 86% milenial Indonesia ingin bekerja di perusahaan yang memiliki purpose yang jelas. Ini adalah modal sosial yang berharga bagi perkembangan kewirahusaan sosial di masa depan.
Namun, antusiasme saja tidak cukup. Kewirahusaan sosial memerlukan ekosistem yang mendukung: regulasi yang kondusif, akses terhadap pendanaan, mentor yang berpengalaman, dan yang tidak kalah penting, konsumen yang paham dan mau membayar lebih untuk produk atau layanan yang memiliki dampak sosial positif.
Pemerintah Indonesia, melalui berbagai program seperti Dana Desa dan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital, menunjukkan komitmen untuk mendukung ekosistem kewirahusaan. Namun, masih diperlukan kebijakan yang lebih spesifik untuk mendukung kewirahusaan sosial, seperti tax incentive untuk social enterprise atau kemudahan regulasi untuk bisnis yang memiliki dampak sosial terbukti.
Di tengah hiruk-pikuk modernitas, kewirahusaan sosial menawarkan jalan tengah antara kapitalisme yang eksploitatif dan sosialisme yang stagnan. Ia mengakui bahwa profit adalah necessary evil untuk sustainability, tetapi tidak menjadikannya sebagai tujuan akhir. Seperti pohon yang menghasilkan buah, profit adalah hasil dari proses yang sehat, bukan tujuan yang dipaksakan.
Masa depan kewirahusaan sosial di Indonesia cerah, tetapi tidak tanpa tantangan. Perubahan iklim, kesenjangan sosial yang melebar, dan disrupsi teknologi menciptakan kompleksitas masalah yang memerlukan solusi inovatif. Di sinilah peran kewirahusaan sosial menjadi crucial: tidak hanya sebagai problem solver, tetapi juga sebagai change maker yang mengubah cara kita memandang bisnis dan masyarakat.
"Bisnis terbaik adalah yang mampu tumbuh dengan menumbuhkan orang lain, berkembang dengan mengembangkan lingkungan, dan berhasil dengan mensukseskan misi kemanusiaan."
Apakah bisnis masa depan akan diukur bukan hanya dari berapa yang diraih, tetapi berapa yang diberi?
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Baca Juga
Daftar Pustaka
Drayton, B. (2002). The citizen sector: Becoming as entrepreneurial and competitive as business. California Management Review, 44(3), 120-132.
Mair, J., & MartÃ, I. (2006). Social entrepreneurship research: A source of explanation, prediction, and delight. Journal of World Business, 41(1), 36-44.
Prahalad, C. K. (2006). The fortune at the bottom of the pyramid: Eradicating poverty through profits. Wharton School Publishing.
Yunus, M. (2007). Creating a world without poverty: Social business and the future of capitalism. PublicAffairs.
Deloitte. (2023). The Deloitte Global 2023 Gen Z and Millennial Survey. Deloitte Insights.
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.