Baca Juga
"Generasi muda adalah pilar masa depan, namun masa depan hanya akan kokoh jika pilar-pilar itu berdiri merata di seluruh pelosok negeri." — Nelson Mandela (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
DUNIA ESAI - "Setiap langkah kecil di ujung dunia adalah revolusi besar bagi peradaban yang terlupakan." — Paulo Freire
Ada cerita tentang seorang pemuda bernama Arif yang memutuskan meninggalkan gemerlap Jakarta untuk mengajar di sebuah desa di pedalaman Kalimantan. Ketika ditanya mengapa, ia hanya tersenyum, "Karena di sana, satu huruf yang diajarkan bisa mengubah masa depan sepuluh anak sekaligus." Arif bukan nama sebenarnya, tapi ia mewakili ribuan pemuda Indonesia yang memilih jalan berliku menuju daerah terdepan, terluar, dan tertinggal—yang kita kenal sebagai daerah 3T.
Jejak, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna bekas tapak kaki, tanda yang ditinggalkan setelah sesuatu berlalu. Namun jejak juga bisa berarti warisan, peninggalan yang memberikan arah bagi yang datang kemudian. Di ujung negeri, di tempat-tempat yang jarang tersentuh pembangunan, jejak pemuda menjadi lebih dari sekadar bekas langkah—ia menjadi jembatan antara harapan dan kenyataan, antara keterisolasian dan keterhubungan.
Pemikir pendidikan Brazil, Paulo Freire, pernah mengatakan bahwa pendidikan sejati adalah praxis—perpaduan antara refleksi dan aksi. Di daerah 3T, konsep ini menemukan wujudnya yang paling autentik. Pemuda-pemuda yang memilih mengabdi di sana tidak hanya membawa pengetahuan, tetapi juga menjadi katalis perubahan sosial. Mereka adalah agen transformasi yang bekerja dalam keheningan, jauh dari sorotan media dan pujian publik.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa hingga 2023, masih terdapat lebih dari 12.000 desa di Indonesia yang masuk kategori daerah 3T. Di sinilah akses menjadi kata kunci pertama. Akses bukan hanya soal jalan dan infrastruktur fisik, melainkan juga akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan informasi. Ketika seorang pemuda dokter memilih bertugas di Puskesmas terpencil di Nusa Tenggara Timur, ia tidak hanya memberikan layanan medis, tetapi juga membuka akses masyarakat terhadap kesehatan yang selama ini menjadi kemewahan.
Filsuf John Rawls dalam A Theory of Justice berbicara tentang keadilan sebagai fairness—kesetaraan kesempatan bagi semua individu tanpa memandang latar belakang mereka. Dalam konteks Indonesia, kesetaraan ini masih menjadi utopia. Anak-anak di daerah 3T seringkali harus berjalan berjam-jam untuk mencapai sekolah, sementara rekan-rekan mereka di kota besar memiliki akses ke pendidikan berkualitas dengan teknologi canggih. Di sinilah peran pemuda menjadi krusial—mereka adalah penyeimbang ketimpangan ini.
Namun kepedulian, kata ketiga dalam trilogy tema ini, mungkin yang paling kompleks. Kepedulian bukan sekadar simpati atau empati sesaat, melainkan komitmen jangka panjang untuk terlibat dalam perubahan. Romo Mangunwijaya pernah menulis, "Kepedulian sejati lahir ketika kita tidak lagi melihat penderitaan orang lain sebagai tontonan, melainkan sebagai panggilan untuk bertindak."
Di era digital ini, paradoks kepedulian semakin nyata. Media sosial memungkinkan kita mengetahui kondisi daerah terpencil hanya dalam hitungan detik, namun sekaligus menciptakan jarak emosional yang semu. Kita bisa scroll foto-foto kemiskinan di Papua sambil menyeruput kopi di cafe Jakarta, merasa prihatin sejenak, lalu melanjutkan aktivitas tanpa berbuat apa-apa. Pemuda yang memilih terjun langsung ke daerah 3T adalah mereka yang menolak kepedulian virtual ini.
Antropolog James Scott dalam Seeing Like a State mengingatkan bahwa program pembangunan dari atas seringkali gagal karena tidak memahami kompleksitas lokal. Pemuda yang bekerja di daerah 3T justru memiliki keunggulan dalam hal ini—mereka belajar dari bawah, memahami kebutuhan riil masyarakat, dan mengembangkan solusi yang kontekstual. Seorang fresh graduate Teknik Informatika yang mengajar di SD terpencil di Maluku tidak hanya mentransfer pengetahuan teknologi, tetapi juga belajar kearifan lokal tentang pengelolaan sumber daya alam.
Tantangan terbesar bukanlah soal teknis atau logistik, melainkan soal keberlanjutan. Banyak program pengabdian yang bersifat temporal—datang dengan fanfare, pergi dengan sepi. Yang dibutuhkan adalah komitmen sistemik, baik dari individu maupun institusi. Pemerintah telah meluncurkan berbagai program seperti SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dan Indonesia Mengajar, namun dampaknya belum optimal karena kurangnya dukungan jangka panjang.
Menarik untuk mencermati fenomena "reverse brain drain" yang mulai terjadi. Beberapa pemuda yang sempat merasakan kehidupan di kota besar justru memilih kembali ke daerah asal atau bahkan ke daerah 3T lainnya. Mereka membawa pengalaman dan jaringan yang diperoleh di kota untuk dikembangkan di daerah terpencil. Ini adalah bentuk redistribusi kapital manusia yang organik dan berkelanjutan.
Namun romantisme pengabdian tidak boleh menutupi realitas keras yang dihadapi. Isolasi geografis, keterbatasan fasilitas, hingga ancaman keamanan di beberapa daerah menjadi ujian nyata bagi komitmen para pemuda. Tidak sedikit yang akhirnya memilih kembali ke zona nyaman. Di sinilah pentingnya sistem dukungan yang komprehensif—bukan hanya materiil, tetapi juga psikologis dan sosial.
Sosiolog Pierre Bourdieu berbicara tentang berbagai bentuk kapital: ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik. Pemuda yang mengabdi di daerah 3T seringkali kaya akan kapital budaya dan simbolik, namun miskin kapital ekonomi. Masyarakat dan negara perlu menciptakan mekanisme konversi kapital yang adil—memberikan apresiasi yang setimpal bagi pengorbanan mereka.
Di tengah diskursus pembangunan yang selalu berorientasi pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, kehadiran pemuda di daerah 3T adalah counter-narrative yang penting. Mereka membuktikan bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal pertumbuhan GDP, melainkan juga pemerataan kesempatan dan keadilan sosial. Setiap jejak yang mereka tinggalkan di ujung negeri adalah investasi jangka panjang bagi masa depan Indonesia yang lebih inklusif.
"Generasi muda adalah pilar masa depan, namun masa depan hanya akan kokoh jika pilar-pilar itu berdiri merata di seluruh pelosok negeri." — Nelson Mandela
Akankah jejak-jejak itu terus berkelanjutan, ataukah akan terhapus oleh derasnya arus modernisasi yang abai pada kesetaraan? Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Baca Juga
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Daerah Tertinggal Indonesia 2023. Jakarta: BPS.
Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241-258). Westport, CT: Greenwood.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
Mangunwijaya, Y.B. (1988). Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Scott, J.C. (1998). Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven: Yale University Press.
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.