Baca Juga
"Barangsiapa yang tidak memiliki tujuan dalam hidupnya, ia akan menjadi target bagi mereka yang memiliki tujuan." (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
DUNIA ESAI - "Dalam setiap langkah yang terarah, tersimpan kekuatan yang mampu menggerakkan dunia. Namun dalam setiap keragu-raguan, bersemayam kehampaan yang memakan jiwa."
Ada sebuah kisah tentang seorang pematung tua di Firenze yang setiap pagi berdiri di hadapan sebuah bongkahan marmer putih. Para tetangganya menganggapnya gila karena sang pematung hanya menatap, berbisik-bisik pada batu itu, tanpa pernah menyentuhnya dengan pahat. Suatu hari, seorang anak kecil bertanya, "Paman, mengapa tidak pernah memukul batu itu?" Sang pematung tersenyum, "Nak, aku sedang berbicara dengan David yang tersembunyi di dalamnya. Aku harus tahu persis di mana dia berada sebelum pahatku menyentuhnya."
Cerita itu mengingatkan pada apa yang Napoleon Hill sebut sebagai Definite Chief Aim—tujuan utama yang pasti. Bukan sekadar cita-cita yang mengambang di langit harapan, melainkan sebuah visi yang begitu jelas hingga mampu memandu setiap langkah, setiap pilihan, setiap detik yang berlalu dalam hidup seseorang. Kata "pasti" di sini bukan berarti kaku atau tidak fleksibel, melainkan memiliki kejelasan yang tajam seperti mata elang yang melihat mangsanya dari ketinggian ribuan kaki.
Hill, yang menghabiskan dua puluh tahun meneliti para tokoh sukses di zamannya—dari Andrew Carnegie hingga Thomas Edison—menemukan satu benang merah yang mengikat mereka semua: kejelasan tujuan yang hampir obsesif. Mereka tidak hanya tahu apa yang mereka inginkan, tetapi juga mengapa mereka menginginkannya, kapan mereka akan meraihnya, dan bagaimana mereka akan melakukannya. Tujuan bukan lagi sebuah harapan yang samar, melainkan sebuah blueprint yang hidup dan bernapas dalam setiap aktivitas mereka.
Namun, mengapa begitu sedikit orang yang benar-benar memiliki tujuan yang pasti? Mengapa mayoritas manusia hidup dalam apa yang Hill sebut sebagai "drifting"—hanyut tanpa arah seperti daun yang gugur di sungai? Barangkali karena memiliki tujuan yang pasti menuntut keberanian untuk menghadapi ketidaknyamanan. Seperti yang pernah dikatakan Rainer Maria Rilke, "Hidup dalam pertanyaan adalah lebih mudah daripada hidup dalam jawaban." Ketika seseorang menetapkan tujuan yang pasti, ia secara otomatis menutup pintu-pintu alternatif lainnya. Ia harus siap berkata "tidak" pada ribuan godaan yang menawarkan jalan yang lebih mudah, lebih nyaman, lebih aman.
Edison tidak akan pernah menemukan bola lampu jika ia tidak memiliki tujuan yang pasti untuk menciptakan penerangan yang praktis dan terjangkau. Kegagalan seribu kali tidak membuatnya berhenti karena setiap kegagalan adalah satu langkah lebih dekat pada tujuannya yang telah ditetapkan dengan begitu jelas. Baginya, kegagalan bukan lawan, melainkan guru yang keras kepala namun jujur.
Dalam tradisi Jawa, ada konsep "sangkan paraning dumadi"—dari mana asal dan ke mana tujuan hidup. Konsep ini mengajarkan bahwa manusia yang bijak adalah mereka yang memahami dengan jernih dari mana mereka berasal dan ke mana mereka akan pergi. Tujuan yang pasti bukan hanya soal pencapaian material, tetapi juga tentang pemahaman mendalam atas makna keberadaan seseorang di dunia ini.
Lao Tzu pernah berkata, "Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah." Namun sebelum langkah pertama itu diambil, seseorang harus tahu ke mana ia akan pergi. Tanpa itu, seribu langkah hanyalah gerak yang sia-sia, energi yang terbuang, waktu yang hilang dalam labirin kehidupan yang tidak berujung.
Di era digital ini, paradoks semakin nyata. Teknologi memberikan kita akses pada informasi dan peluang yang tak terbatas, namun seringkali justru membuat kita semakin bingung menentukan tujuan. Media sosial memamerkan ribuan versi kesuksesan, menciptakan noise yang memekakkan telinga jiwa. Anak-anak muda hari ini sering terjebak dalam apa yang bisa disebut sebagai "sindrom scrolling"—terus-menerus mencari inspirasi dari luar tanpa pernah mendengarkan suara hati mereka sendiri.
Hill menekankan bahwa tujuan yang pasti harus lahir dari dalam, dari pemahaman mendalam atas kekuatan dan kelemahan diri, dari passion yang membara, dari visi yang jernih tentang kontribusi apa yang ingin diberikan kepada dunia. Ia tidak boleh menjadi tiruan dari kesuksesan orang lain atau sekadar respons terhadap ekspektasi sosial.
Proses menetapkan tujuan yang pasti bukanlah aktivitas sekali jadi. Ia memerlukan kontemplasi yang mendalam, refleksi yang jujur, dan keberanian untuk mengakui kebenaran tentang diri sendiri—baik yang indah maupun yang menyakitkan. Seperti arkeolog yang menggali lapisan demi lapisan tanah untuk menemukan artefak berharga, seseorang harus menggali lapisan demi lapisan kesadaran untuk menemukan tujuan sejatinya.
Ketika tujuan itu sudah ditemukan dan ditetapkan dengan pasti, terjadi semacam transformasi internal yang luar biasa. Energi yang sebelumnya tersebar ke segala arah kini terfokus seperti sinar laser. Prioritas menjadi jelas. Keputusan-keputusan kecil sehari-hari tidak lagi melelahkan karena ada kompas internal yang selalu menunjukkan arah. Bahkan dalam kegelapan dan badai, kompas itu tetap berfungsi.
Namun, apakah memiliki tujuan yang pasti menjamin kesuksesan? Hill sendiri mengakui bahwa tidak ada jaminan mutlak dalam hidup. Yang pasti adalah bahwa tanpa tujuan yang jelas, kemungkinan untuk meraih kehidupan yang bermakna dan memuaskan menjadi sangat kecil. Seperti pemanah yang memanah tanpa target, panah mungkin saja mengenai sesuatu, tetapi tidak pernah bisa disebut tepat sasaran.
Ada kebijaksanaan lama yang mengatakan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka. Perubahan itu dimulai dengan kejelasan visi, dengan tujuan yang pasti, dengan komitmen yang tak tergoyahkan pada sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Mungkin itulah mengapa dalam setiap tradisi spiritual, pencarian makna dan tujuan hidup selalu menjadi tema sentral. Dari dharma dalam Hindu-Buddha hingga ikigai dalam tradisi Jepang, dari konsep purpose-driven life dalam Kristen hingga maqashid dalam Islam—semuanya berbicara tentang pentingnya memiliki tujuan yang jelas sebagai fondasi kehidupan yang bermakna.
"Barangsiapa yang tidak memiliki tujuan dalam hidupnya, ia akan menjadi target bagi mereka yang memiliki tujuan."
Pertanyaannya bukanlah apakah kita membutuhkan tujuan yang pasti, melainkan apakah kita memiliki keberanian untuk menemukannya, menetapkannya, dan menjalaninya dengan sepenuh hati?
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka
Hill, N. (1928). The Law of Success in Sixteen Lessons. The Ralston Society.
Hill, N. (1937). Think and Grow Rich. The Ralston Society.
Rilke, R. M. (1929). Letters to a Young Poet. W. W. Norton & Company.
Carnegie, A. (1920). Autobiography of Andrew Carnegie. Houghton Mifflin Company.
Lao Tzu. (6th century BC). Tao Te Ching. (R. B. Blakney, Trans.). New American Library. (Original work published 6th century BC)
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.